Pendiri Wahabi adalah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum


Sebenarnya, Al-Wahabiyah merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad ke 2 (dua) Hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah,dan sangat jauh dari Islam.
Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam.
Contohnya: Inggris mengulirkan isue wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam.
Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:
1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.
2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.
3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.
Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad (Abdul Wahab) maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.
FATWA AL-LAKHMI DITUJUKAN KEPADA WAHABI (ABDUL WAHHAB BIN ABDURRAHMAN BIN RUSTUM) SANG TOKOH KHAWARIJ BUKAN KEPADA SYAIKH MUHAMMAD ABDUL WAHAB
Mengenai fatwa Al-Imam Al-Lakhmi yang dia mengatakan bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij. Maka yg dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya  bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafat Al-Lakhmi adalah 478 H sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yg telah wafat namun berfatwa tentang seseorang yg hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum maka  dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikut Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi hubungan antara Najd dgn Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yg diperingatkan Al-Lakhmi adl Wahhabiyyah Rustumiyyah bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. [Lihat kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.]
Perbedaan Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum Dan Da’wah Syaikh Muhammad Abdul Wahhab
1.Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum (Khawarij)
Khawarij adalah salah satu kelompok dari kaum muslimin yang mengkafirkan pelaku maksiat (dosa besar), membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Islam, dan keluar dari jama’ah kaum muslimin.
Termasuk dalam kategori Khawarij, adalah Khawarij generasi awal (Muhakkimah Haruriyah) dan sempalan-sempalannya, seperti al-Azariqah, ash-Shafariyyah, dan an-Najdat –ketiganya sudah lenyap– dan al-Ibadhiyah –masih ada hingga sekarang–. Termasuk pula dalam kategori Khawarij, adalah siapa saja yang dasar-dasar jalan hidupnya seperti mereka, seperti Jama’ah Takfir dan Hijrah. Atas dasar ini, maka bisa saja Khawarij muncul di sepanjang masa, bahkan betul-betul akan muncul pada akhir zaman, seperti telah diberitakan oleh Rasulullah.
“Pada akhir zaman akan muncul suatu kaum yang usianya rata-rata masih muda dan sedikit ilmunya. Perkataan mereka adalah sebaik-baik perkataan manusia, namun tidaklah keimanan mereka melampaui tenggorokan Maksudnya, mereka beriman hanya sebatas perkataan tidak sampai ke dalam hatinya – red. Mereka terlepas dari agama; maksudnya, keluar dari ketaatan – red sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya. Maka di mana saja kalian menjumpai mereka, bunuhlah! Karena hal itu mendapat pahala di hari Kiamat.” (HR. Al Bukhari no. 6930, Muslim no. 1066)
2. Da’wah Syaikh Muhammad Abdul Wahhab (Ahlussunnah Wal Jama’ah)
Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal di hadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau.
Syaikh berkata,
“Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat.
Akan tetapi aku mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku. Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan Imamku, kecuali perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/37-38).
“Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.” (KitabMuallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/36).

tentang khowarij yang suka mengkafirkan pelaku dosa besar

Berkata Imam ath-Thohawi didalam menyifati aqidah Ah­lus Sunnah: “Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat dengan sebab dosanya, selagi tidak menghalalkannya dan kami tidak mengatakan: ‘Dosa tidaklah memadhoratkan iman apabila dilakukan.’” (AqidahThohawiyah dengan catatan kaki dari Syaikh Muhammad bin Ab­dul Aziz Mani’ dan ta’liq Syaikh Abdul Aziz bin Baz: 42)
Berkata syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika menta’liq perkataan imam ath-Thohawi tersebut di atas: “Maksud perkataan beliau rahimahullah, sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidaklah mengkafirkan seorang muslim Ahlu Tauhid selagi beriman kepada Alloh dan hari akhir de­ngan dosa yang dilakukannya, seperti minum khomer, riba, durhaka kepada orang tua dan yang semisalnya, selagi tidak menghalalkan hal tersebut. Jika menghalalkannya ia telah kafir, karena mendustakan Alloh dan rosul-Nya, keluar dari agama-Nya. Adapun jika tidak mengha­lalkannya, tidaklah kafir menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun ia lemah keimanannya. Baginya hukum perbuatan yang ia lakukan dari kemaksiatan dalam hal pemfasikan, penegakan hukuman dan lain-lainnya, sesuai dengan apa yang datang di dalam syari’at yang suci ini. Inilah perkataan Ahlus Snnah, berlainan dengan per­kataan orang-orang Khowarij dan Mu’tazilah dan orang-orang yang menempuh jalan mereka yang bathil. Orang Khowarij mengkafirkan dengan sebab dosa-dosa dan orang-orang Mu’tazilah menjadikannya di suatu tempat antara dua tempat, yaitu: antara Islam dan kafir di dunia dan adapun di mereka sepakat dengan orang Khowarij, yakni ia di neraka. Dan ucapan kedua kelompok tersebut bathil berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Perkara mereka telah menjadi samar atas sebagian manusia, karena kesedikitan ilmu, tetapi perkara keduanya sangatlah jelas -alhamdulillah- di sisi Ahlul Haq, sebagaimana telah kami jelaskan, wallohul muwaffiq.”. (Ta’liq aqidah Thohawiyah:42)
Berkata Syaikhul Islam dalam menyifati i’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah: “Mereka tidaklah mengkafirkan ahlul kiblat dengan sebab maksiat mutlak dan dosa besar, seba­gaimana yang dilakukan oleh orang Khowarij. Persaudaraan imaniyah masih tetap tersisa bersama dengan kemaksiatan-kemaksiatan.. tidaklah mereka menghilangkan nama iman secara total dari orang muslim fasik, tidaklah dikekalkan dalam neraka sebagaimana perkataan Mu’tazilah, bahkan seorang yang fasik (masih) masuk ke dalam nama iman.”. (Majmu’ Fa-tawa: 3/151)
Berkata Fudhoil bin ‘lyadh: “Aku telah mendengar Sufyan ats-Tsauriy berkata: “Barangsiapa yang sholat menghadap kiblat ini, maka ia mukmin dalam masalah ketetapan, warisan, nikah, hukum-hukum pidana dan perdata, penyembelihan dan ibadah, menurut kami. Mereka memiliki dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, Alloh yang akan menghisabnya, jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya dan jika menghendaki akan mengampuninya, kita tidak mengetahui apa yang mereka berada di atasnya di sisi Alloh.”. (Abdulloh bin Ahmad dalam as-Sunnah, 1/377)
Berkata Imam al-Barbahari: “Ketahuilah bahwa dunia adalah kampung iman dan Islam, umat Nabi Muhammad di dalamnya mukmin, muslim baik dalam hu­kum-hukum, warisan-warisan, penyembelihan-penyembelihan, sholat atas mereka dan tidaklah kita memberikan kesaksian terhadap seseorang dengan hakekat keimanan (iman sempurna) sehingga ia mengerjakan seluruh syari’at Islam. Jika ia kurang di dalam sesuatu dari hal tersebut, ia kurang keimanannya, sehingga ia bertaubat.” (Syarhus Sun­nah, al-Barbahari: 30)
2..HUKUM PELAKU DOSA BESAR DI AKHERAT
Ahlus Sunnah meyakini bahwa hukum pelaku dosa be­sar di akherat berada di bawah kehendak Alloh Subhanahu wa Ta’ala, jika Alloh menghendaki akan menyiksanya dengan keadilan-Nya dan jika Alloh menghenbdaki akan mengampuninya dengan rohmat dan fadhilah-Nya.

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang lebih kecil dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar. (QS. an-Nisa’[4]: 48)
Dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya di neraka de­ngan keadilan-Nya kemudian mengeluarkan mereka darinya dengan rohmat-Nya, dengan syafa’at orang-orang yang memberi syafa’at dari kalangan ahli ketaatan kemudian dia dimasukkan ke dalam surga. Demikian itu, karena Alloh adalah penolong orang-orang yang mengetahui-Nya, tidaklah Alloh menjadikan mereka di akherat seperti orang yang tidak mengetahui-Nya.” (Aqidah ath-Thohawiyah dengan syarah Ibnu Abul Izz 524)
Berkata Imam ash-Shobuni rahimahullah: “Ahlus Sunnah meyakini sesungguhnya seorang mukmin apabila berbuat banyak dosa, baik dosa kecil atau pun dosa besar tidaklah ia dikafirkan dengannya, walaupun meninggal dalam keadaan tidak bertaubat darinya sedangkan ia meninggal dalam keadaan bertauhid dan ikhlas. Perkaranya kembali kepada Alloh, jika Alloh menghen­daki akan mengampuninya dan kelak di hari kiamat akan memasukkannya ke surga dalam ke­adaan selamat lagi memperoleh keuntungan yang besar dengan tanpa diuji dengan masuk ne­raka dan tidak disiksa dengan perbuatan dosa yang dilakukannya. Dan jika Alloh meng­hendaki akan menyiksanya de­ngan adzab neraka dan tidaklah kekal di dalam neraka tersebut, namun Alloh akan memerdekakannya lalu memasukkannya ke dalam kampung kenikmatan yang tetap (surga)”. (Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: 276)
Berkata Imam Baghowi rahimahullah: “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seorang mukmin tidak­lah keluar dari iman dengan mengerjakan dosa besar bilamana tidak meyakini kebolehannya. Apabila ia mengerjakan sesuatu dari dosa tersebut, lalu mening­gal dan tidak bertaubat darinya, tidaklah kekal di dalam neraka sebagaimana dalam hadits, na­mun perkaranya kembali kepada Alloh. Jika Alloh menghen­daki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya lalu dimasukkan ke dalam surga dengan rohmat-Nya.” (Syarhus Sunnah: 1/117)
Berkata Imam an-Nawawi rahimahullahdalam syarah hadits, ‘Barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.’ Makna dari hadits ini adalah balasannya, namun Alloh yang Maha Mulia kadang mengampuninya dan tidaklah dipastikan masuk ke dalam neraka. Demikian inilah jalan pemahaman hadits yang ada di dalamnya ancaman dengan masuk neraka bagi pelaku dosa besar selain kekafiran.Apabila ia dimasukkan ke dalam neraka tidaklah ia kekal di dalamnya, tetapi pasti keluar darinya dengan keutamaan dan rohmat Alloh Ta’ala, tidaklah seseorang dikekalkan di neraka bersama iman yang dimilikinya. Inilah kaedah yang telah disepakati oleh seluruh Ahlus sunnah.” (Syarh Shohih muslim; 1/69)
Dari nukilan singkat di atas, kita memperoleh kesimpulan singkat bahwa aqidah Ahlus Sunnah dalam hal pelaku dosa besar adalah sebagai berikut:
1. Hukum pelaku dosa besar di akherat kelak berada di dalam kehendak Alloh Jalla Jalaluhu,jika Alloh menghendaki  akan  menyiksanya dan jika Alloh meng­hendaki mengampuninya.
  1. Pelaku dosa besar ia berhak mendapatkan siksa dan ma­suk ke dalam neraka dengan sebab dosa-dosanya.
  2. Pelaku dosa besar jika ma­suk ke dalam neraka tidaklah kekal di dalamnya.
  3. Adzab pelaku dosa besar di akherat tidaklah sebagaimana adzab terhadap orang kafir.
  4. Pelaku dosa besar pada akhirnya akan masuk surga setelah sempurna adzabnya di nera­ka.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa hukum tersebut di atas adalah hukum secara mutlak, adapun secara perorangan ada di antara mereka yang masuk ke dalam surga dengan tanpa diadzab di neraka sama sekali, berdasarkan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari hadits Abdulloh bin Amr bin Ash, beliau berkata, Rosulullohshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Sesungguhnya Alloh akan mengkhususkan seorang laki-laki dari umatku di hadapan para makhluk kelak di hari kiamat, dibentangkan baginya sembilan puluh sembilan buku catatan, setiap buku catatan luasnya sejauh mata memandang kemudian Alloh berfirman. “Apakah eng­kau mengingkari ini? Apakah malaikat penulis amalan mendholimimu?” “Tidak, ya Alloh,” jawabnya. Alloh berfirman: “Apakah engkau memiliki udzur atau kebaikan?” Laki-laki terse­but terdiam lalu mengatakan: “Tidak , ya Alloh.” Alloh berfir­man: “Engkau mempunyai satu kebajikan, engkau hari ini tak terdholimi.” Lalu dikeluarkan untuknya sebuah kartu yang tertulis di dalamnya, Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah secara haq kecuali Alloh dan bahwasanya nabi Mu­hammad adalah Rosululloh. Alloh berfirman: “Hadirkan dia.” Orang tersebut mengatakan: “Ya, Alloh apa (fungsi) kartu ini bila dibandingkan dengan catatan-catatan ini?!” Maka dikatakan kepadanya: “Engkau hari ini ti­daklah didholimi.” Rosululloh bersabda: “Maka diletakkanlah catatan-catatan tersebut di neraca, maka catatan-catatan tersebut naik ke atas (karena ringan) dan beratlah kartu tersebut, tidaklah berat sesuatupun (berhadapan) dengan nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (HR. Ahmad: I/ 70, al-Hakim: 1/46, 47 dan beliau menshohihkannya dan telah menyetujuinya Imam adz-Dzahabi)
3. DALIL-DALIL I’TIQOD AHLUS SUNNAH DALAM HAL INI
Berikut ini dalil-dalil secara global yang digunakan oleh Ah­lus Sunnah dalam menetapkan i’tiqod dan hukum terhadap pelaku dosa besar:
A. Nash-nash yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menyekutukan Alloh Ta’ala akan masuk surga dan sedemikian pula orang yang mengucapkan Laa ilaaha ilia Alloh,diantaranya:
1. Firman Alloh dalam surat an-Nisa’ [4]: 48

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang le-bih kecil dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsia-pa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Alloh Ta’ala mengabarkan dalam ayat yang mulia ini bahwa seseorang jika melakukan kesyirikan tidaklah akan diampuni dosa kesyirikannya tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa dosa syirik yang tidak diampuni adalah apabila pelakunya meninggal dunia dan tidak bertau­bat darinya, berdasarkan firman Alloh ta’ala:

قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Alloh akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Alloh tenhadap) orang-orang dahulu. “. (QS. al-Anfal [8]:38)
Jika ia bertaubat darinya maka diampuni dosa kesyirikannya tersebut.
Ayat di atas (an-Nisa’ [4]: 48) menyebutkan pula bahwa dosa yang lebih kecil dari kesyirikan, jika Alloh menghendakinya akan diampuni walaupun pelakunya tidak bertaubat darinya. Sebagaimana ayat tersebut menunjukkan bahwa pelaku dosa yang lebih kecil dari kesyirikan adalah mukmin, karena tidaklah akan diampuni dan dimasukkan ke dalam surga kecuali seorang mukmin.
  1. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Tidaklah seorang hamba menemui Alloh dengan keduanya (Syahadat’ Asyhadu allaa ilaaha ilia Alloh dan Asyhadu anna Muhammadar Rosululloh)  dengan   tidak ada keraguan sedikitpun di dalam keduanya, kecuali masuk surga.” (HR. Muslim)
  2. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda (yang artinya): “Kewajiban hamba kepada Alloh adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun dan hak hamba atas Alloh adalah bahwasanyaAlloh tidaklah   akan   mengadzab   orang yang tidak menyekutukan-Nya se­dikitpun.” (HR. Muslim: 30)
  3. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Barangsiapa menemui-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, dengan tanpa menyekutukan-Ku sedikitpun, Aku akan menemuinya dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Mus­lim: 2687)
Berkata Ibnu Rojab rahimahullah: “Barangsiapa datang membawa dosa sepenuh dunia bersama dengan ketauhidannya, maka Alloh akan mendatangkan ampunan yang semisalnya, namun semua ini adalah bersama de­ngan kehendak Alloh Ta’ala. Jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya dan kemudian kesudahannya akan dikeluarkan darinya dan dimasukkan ke dalam surga.”. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 374)
B. Nash-nash yang menyatakan bahwa ahli tauhid tidak ma­suk ke dalam neraka atau tidak akan kekal di neraka bila memasukinya.
1.  Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :.”Jibril datang kepadaku lalumemberi kabar gembira kepadaku, bahwasanya barangsiapa meninggal dunia dari kalangan umatmu dalam keadaan tidak menyekutukan kepada-Ku sedikitpun, ia akan ma­suk surga. Saya bertanya: “Walaupun ia berzina dan mencuri? ” Jibril menjawab:  Waluapun  ia  berzina dan mencuri.” (HR. Muslim)
2.   Dari   Ubadah   bin   Shomit, beliau berkata:  “Kami duduk-duduk   bersama Nabi dalam suatu majelis, lalu beliau ber­sabda:   “Berbaiatlah kalian kepa­daku  untuk tidak menyekutukan Alloh   sedikitpun,   tidak   berzina, tidak  mencuri,   tidak  membunuh jiwa yang diharamkan Alloh ke­cuali dengan haq. Barangsiapa di antara kalian memenuhinya maka pahalanya atas Alloh  Ta’ala dan barangsiapa melanggar sedikit dari hal tersebut kemudian ditegakkan siksa baginya di dunia, maka hal itu merupakan pelebur dosa baginya dan barangsiapa melanggar sedikit dari hal tersebut kemudian Alloh menutupi atasnya, maka perkaranya kembali kepada Alloh, jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya.”   (HR.   Bukhori dan Muslim)
Berkata an-Nawawi rahimahullah: ‘”Barangsiapa melanggar ‘ sedikit dari hal tersebut’, maksudnya adalah selain kesyirikan, jika tidak, kesyirikan tidaklah akan diampuni (jika tidak bertaubat darinya). Dan beliau berkata pula: “Hadits ini menunjukkan bahwa kemaksiatan selain kekekafiran, pelakunya tidaklah dipastikan masuk ke dalam neraka, jika tidak bertaubat darinya, namun ia berada di bawah kehendak Alloh. Jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya.”. (Syarh Shohih Muslim,11/223)
alhamdulillah selesai sampai di sini

0 komentar:

Posting Komentar