Pendiri Wahabi adalah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum


Sebenarnya, Al-Wahabiyah merupakan firqah sempalan Ibadhiyah khawarij yang timbul pada abad ke 2 (dua) Hijriyah (jauh sebelum masa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), yaitu sebutan Wahabi nisbat kepada tokoh sentralnya Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum yang wafat tahun 211 H. Wahabi merupakan kelompok yang sangat ekstrim kepada ahli sunnah,dan sangat jauh dari Islam.
Untuk menciptakan permusuhan di tengah Umat Islam, kaum Imperialisme dan kaum munafikun memancing di air keruh dengan menyematkan baju lama (Wahabi) dengan berbagai atribut penyimpangan dan kesesatannya untuk menghantam dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau setiap dakwah mana saja yang mengajak untuk memurnikan Islam. Karena dakwah beliau sanggup merontokkan kebatilan, menghancurkan angan-angan kaum durjana dan melumatkan tahta agen-agen asing, maka dakwah beliau dianggap sebagai penghalang yang mengancam eksistensi mereka di negeri-negeri Islam.
Contohnya: Inggris mengulirkan isue wahabi di India, Prancis menggulirkan isu wahabi di Afrika Utara, bahkan Mesir menuduh semua kelompok yang menegakkan dakwah tauhid dengan sebutan Wahabi, Italia juga mengipaskan tuduhan wahabi di Libia, dan Belanda di Indonesia, bahkan menuduh Imam Bonjol yang mengobarkan perang Padri sebagai kelompok yang beraliran Wahabi. Semua itu, mereka lakukan karena mereka sangat ketakutan terhadap pengaruh murid-murid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab yang mengobarkan jihad melawan Imperialisme di masing-masing negeri Islam.
Tuduhan buruk yang mereka lancarkan kepada dakwah beliau hanya didasari tiga faktor:
1. Tuduhan itu berasal dari para tokoh agama yang memutarbalikkan kebenaran, yang hak dikatakan bathil dan sebaliknya, keyakinan mereka bahwa mendirikan bangunan dan masjid di atas kuburan, berdoa dan meminta bantuan kepada mayit dan semisalnya termasuk bagian dari ajaran Islam. Dan barangsiapa yang mengingkarinya dianggap membenci orang-orang shalih dan para wali.
2. Mereka berasal dari kalangan ilmuwan namun tidak mengetahui secara benar tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan dakwahnya, bahkan mereka hanya mendengar tentang beliau dari pihak yang sentimen dan tidak senang Islam kembali jaya, sehingga mereka mencela beliau dan dakwahnya sehingga memberinya sebutan Wahabi.
3. Ada sebagian dari mereka takut kehilangan posisi dan popularitas karena dakwah tauhid masuk wilayah mereka, yang akhirnya menumbangkan proyek raksasa yang mereka bangun siang malam.
Dan barangsiapa ingin mengetahui secara utuh tentang pemikiran dan ajaran Syaikh Muhammad (Abdul Wahab) maka hendaklah membaca kitab-kitab beliau seperti Kitab Tauhid, Kasyfu as-Syubhat, Usul ats-Tsalatsah dan Rasail beliau yang sudah banyak beredar baik berbahasa arab atau Indonesia.
FATWA AL-LAKHMI DITUJUKAN KEPADA WAHABI (ABDUL WAHHAB BIN ABDURRAHMAN BIN RUSTUM) SANG TOKOH KHAWARIJ BUKAN KEPADA SYAIKH MUHAMMAD ABDUL WAHAB
Mengenai fatwa Al-Imam Al-Lakhmi yang dia mengatakan bahwa Al-Wahhabiyyah adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij. Maka yg dia maksudkan adalah Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya  bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun wafat Al-Lakhmi adalah 478 H sedangkan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah janggal bila ada orang yg telah wafat namun berfatwa tentang seseorang yg hidup berabad-abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin Abdurrahman bin Rustum maka  dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga amatlah tepat bila fatwa Al-Lakhmi tertuju kepadanya. Berikut Al-Lakhmi merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara dan fitnah Wahhabiyyah Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al-Lakhmi hubungan antara Najd dgn Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh. Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij yg diperingatkan Al-Lakhmi adl Wahhabiyyah Rustumiyyah bukan Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. [Lihat kitab Al-Mu’rib Fi Fatawa Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad Al-Wansyarisi, juz 11.]
Perbedaan Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum Dan Da’wah Syaikh Muhammad Abdul Wahhab
1.Da’wah Abdul Wahab bin Abdurrahman bin Rustum (Khawarij)
Khawarij adalah salah satu kelompok dari kaum muslimin yang mengkafirkan pelaku maksiat (dosa besar), membangkang dan memberontak terhadap pemerintah Islam, dan keluar dari jama’ah kaum muslimin.
Termasuk dalam kategori Khawarij, adalah Khawarij generasi awal (Muhakkimah Haruriyah) dan sempalan-sempalannya, seperti al-Azariqah, ash-Shafariyyah, dan an-Najdat –ketiganya sudah lenyap– dan al-Ibadhiyah –masih ada hingga sekarang–. Termasuk pula dalam kategori Khawarij, adalah siapa saja yang dasar-dasar jalan hidupnya seperti mereka, seperti Jama’ah Takfir dan Hijrah. Atas dasar ini, maka bisa saja Khawarij muncul di sepanjang masa, bahkan betul-betul akan muncul pada akhir zaman, seperti telah diberitakan oleh Rasulullah.
“Pada akhir zaman akan muncul suatu kaum yang usianya rata-rata masih muda dan sedikit ilmunya. Perkataan mereka adalah sebaik-baik perkataan manusia, namun tidaklah keimanan mereka melampaui tenggorokan Maksudnya, mereka beriman hanya sebatas perkataan tidak sampai ke dalam hatinya – red. Mereka terlepas dari agama; maksudnya, keluar dari ketaatan – red sebagaimana terlepasnya anak panah dari busurnya. Maka di mana saja kalian menjumpai mereka, bunuhlah! Karena hal itu mendapat pahala di hari Kiamat.” (HR. Al Bukhari no. 6930, Muslim no. 1066)
2. Da’wah Syaikh Muhammad Abdul Wahhab (Ahlussunnah Wal Jama’ah)
Alangkah baiknya kami paparkan terlebih dahulu penjelasan singkat tentang hakikat dakwah yang beliau serukan. Karena hingga saat ini ‘para musuh’ dakwah beliau masih terus membangun dinding tebal di hadapan orang-orang awam, sehingga mereka terhalang untuk melihat hakikat dakwah sebenarnya yang diusung oleh beliau.
Syaikh berkata,
“Segala puji dan karunia dari Allah, serta kekuatan hanyalah bersumber dari-Nya. Sesungguhnya Allah ta’ala telah memberikan hidayah kepadaku untuk menempuh jalan lurus, yaitu agama yang benar; agama Nabi Ibrahim yang lurus, dan Nabi Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.Alhamdulillah aku bukanlah orang yang mengajak kepada ajaran sufi, ajaran imam tertentu yang aku agungkan atau ajaran orang filsafat.
Akan tetapi aku mengajak kepada Allah Yang tiada sekutu bagi-Nya, dan mengajak kepada sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah diwasiatkan kepada seluruh umatnya. Aku berharap untuk tidak menolak kebenaran jika datang kepadaku. Bahkan aku jadikan Allah, para malaikat-Nya serta seluruh makhluk-Nya sebagai saksi bahwa jika datang kepada kami kebenaran darimu maka aku akan menerimanya dengan lapang dada. Lalu akan kubuang jauh-jauh semua yang menyelisihinya walaupun itu perkataan Imamku, kecuali perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena beliau tidak pernah menyampaikan selain kebenaran.” (Kitab ad-Durar as-Saniyyah: I/37-38).
“Alhamdulillah, aku termasuk orang yang senantiasa berusaha mengikuti dalil, bukan orang yang mengada-adakan hal yang baru dalam agama.” (KitabMuallafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab: V/36).

tentang khowarij yang suka mengkafirkan pelaku dosa besar

Berkata Imam ath-Thohawi didalam menyifati aqidah Ah­lus Sunnah: “Kami tidak mengkafirkan seorang pun dari ahlul kiblat dengan sebab dosanya, selagi tidak menghalalkannya dan kami tidak mengatakan: ‘Dosa tidaklah memadhoratkan iman apabila dilakukan.’” (AqidahThohawiyah dengan catatan kaki dari Syaikh Muhammad bin Ab­dul Aziz Mani’ dan ta’liq Syaikh Abdul Aziz bin Baz: 42)
Berkata syaikh Abdul Aziz bin Baz, ketika menta’liq perkataan imam ath-Thohawi tersebut di atas: “Maksud perkataan beliau rahimahullah, sesungguhnya Ahlus Sunnah wal Jama’ah tidaklah mengkafirkan seorang muslim Ahlu Tauhid selagi beriman kepada Alloh dan hari akhir de­ngan dosa yang dilakukannya, seperti minum khomer, riba, durhaka kepada orang tua dan yang semisalnya, selagi tidak menghalalkan hal tersebut. Jika menghalalkannya ia telah kafir, karena mendustakan Alloh dan rosul-Nya, keluar dari agama-Nya. Adapun jika tidak mengha­lalkannya, tidaklah kafir menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun ia lemah keimanannya. Baginya hukum perbuatan yang ia lakukan dari kemaksiatan dalam hal pemfasikan, penegakan hukuman dan lain-lainnya, sesuai dengan apa yang datang di dalam syari’at yang suci ini. Inilah perkataan Ahlus Snnah, berlainan dengan per­kataan orang-orang Khowarij dan Mu’tazilah dan orang-orang yang menempuh jalan mereka yang bathil. Orang Khowarij mengkafirkan dengan sebab dosa-dosa dan orang-orang Mu’tazilah menjadikannya di suatu tempat antara dua tempat, yaitu: antara Islam dan kafir di dunia dan adapun di mereka sepakat dengan orang Khowarij, yakni ia di neraka. Dan ucapan kedua kelompok tersebut bathil berdasarkan al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’. Perkara mereka telah menjadi samar atas sebagian manusia, karena kesedikitan ilmu, tetapi perkara keduanya sangatlah jelas -alhamdulillah- di sisi Ahlul Haq, sebagaimana telah kami jelaskan, wallohul muwaffiq.”. (Ta’liq aqidah Thohawiyah:42)
Berkata Syaikhul Islam dalam menyifati i’tiqod Ahlus Sunnah wal Jama’ah: “Mereka tidaklah mengkafirkan ahlul kiblat dengan sebab maksiat mutlak dan dosa besar, seba­gaimana yang dilakukan oleh orang Khowarij. Persaudaraan imaniyah masih tetap tersisa bersama dengan kemaksiatan-kemaksiatan.. tidaklah mereka menghilangkan nama iman secara total dari orang muslim fasik, tidaklah dikekalkan dalam neraka sebagaimana perkataan Mu’tazilah, bahkan seorang yang fasik (masih) masuk ke dalam nama iman.”. (Majmu’ Fa-tawa: 3/151)
Berkata Fudhoil bin ‘lyadh: “Aku telah mendengar Sufyan ats-Tsauriy berkata: “Barangsiapa yang sholat menghadap kiblat ini, maka ia mukmin dalam masalah ketetapan, warisan, nikah, hukum-hukum pidana dan perdata, penyembelihan dan ibadah, menurut kami. Mereka memiliki dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan, Alloh yang akan menghisabnya, jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya dan jika menghendaki akan mengampuninya, kita tidak mengetahui apa yang mereka berada di atasnya di sisi Alloh.”. (Abdulloh bin Ahmad dalam as-Sunnah, 1/377)
Berkata Imam al-Barbahari: “Ketahuilah bahwa dunia adalah kampung iman dan Islam, umat Nabi Muhammad di dalamnya mukmin, muslim baik dalam hu­kum-hukum, warisan-warisan, penyembelihan-penyembelihan, sholat atas mereka dan tidaklah kita memberikan kesaksian terhadap seseorang dengan hakekat keimanan (iman sempurna) sehingga ia mengerjakan seluruh syari’at Islam. Jika ia kurang di dalam sesuatu dari hal tersebut, ia kurang keimanannya, sehingga ia bertaubat.” (Syarhus Sun­nah, al-Barbahari: 30)
2..HUKUM PELAKU DOSA BESAR DI AKHERAT
Ahlus Sunnah meyakini bahwa hukum pelaku dosa be­sar di akherat berada di bawah kehendak Alloh Subhanahu wa Ta’ala, jika Alloh menghendaki akan menyiksanya dengan keadilan-Nya dan jika Alloh menghenbdaki akan mengampuninya dengan rohmat dan fadhilah-Nya.

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang lebih kecil dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. barangsiapa yang mempersekutukan Alloh, Maka sungguh ia Telah berbuat dosa yang besar. (QS. an-Nisa’[4]: 48)
Dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya di neraka de­ngan keadilan-Nya kemudian mengeluarkan mereka darinya dengan rohmat-Nya, dengan syafa’at orang-orang yang memberi syafa’at dari kalangan ahli ketaatan kemudian dia dimasukkan ke dalam surga. Demikian itu, karena Alloh adalah penolong orang-orang yang mengetahui-Nya, tidaklah Alloh menjadikan mereka di akherat seperti orang yang tidak mengetahui-Nya.” (Aqidah ath-Thohawiyah dengan syarah Ibnu Abul Izz 524)
Berkata Imam ash-Shobuni rahimahullah: “Ahlus Sunnah meyakini sesungguhnya seorang mukmin apabila berbuat banyak dosa, baik dosa kecil atau pun dosa besar tidaklah ia dikafirkan dengannya, walaupun meninggal dalam keadaan tidak bertaubat darinya sedangkan ia meninggal dalam keadaan bertauhid dan ikhlas. Perkaranya kembali kepada Alloh, jika Alloh menghen­daki akan mengampuninya dan kelak di hari kiamat akan memasukkannya ke surga dalam ke­adaan selamat lagi memperoleh keuntungan yang besar dengan tanpa diuji dengan masuk ne­raka dan tidak disiksa dengan perbuatan dosa yang dilakukannya. Dan jika Alloh meng­hendaki akan menyiksanya de­ngan adzab neraka dan tidaklah kekal di dalam neraka tersebut, namun Alloh akan memerdekakannya lalu memasukkannya ke dalam kampung kenikmatan yang tetap (surga)”. (Aqidah Salaf Ashhabul Hadits: 276)
Berkata Imam Baghowi rahimahullah: “Ahlus Sunnah telah sepakat bahwa seorang mukmin tidak­lah keluar dari iman dengan mengerjakan dosa besar bilamana tidak meyakini kebolehannya. Apabila ia mengerjakan sesuatu dari dosa tersebut, lalu mening­gal dan tidak bertaubat darinya, tidaklah kekal di dalam neraka sebagaimana dalam hadits, na­mun perkaranya kembali kepada Alloh. Jika Alloh menghen­daki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya sesuai dengan kadar dosa yang dilakukannya lalu dimasukkan ke dalam surga dengan rohmat-Nya.” (Syarhus Sunnah: 1/117)
Berkata Imam an-Nawawi rahimahullahdalam syarah hadits, ‘Barangsiapa berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menempati tempat duduknya di neraka.’ Makna dari hadits ini adalah balasannya, namun Alloh yang Maha Mulia kadang mengampuninya dan tidaklah dipastikan masuk ke dalam neraka. Demikian inilah jalan pemahaman hadits yang ada di dalamnya ancaman dengan masuk neraka bagi pelaku dosa besar selain kekafiran.Apabila ia dimasukkan ke dalam neraka tidaklah ia kekal di dalamnya, tetapi pasti keluar darinya dengan keutamaan dan rohmat Alloh Ta’ala, tidaklah seseorang dikekalkan di neraka bersama iman yang dimilikinya. Inilah kaedah yang telah disepakati oleh seluruh Ahlus sunnah.” (Syarh Shohih muslim; 1/69)
Dari nukilan singkat di atas, kita memperoleh kesimpulan singkat bahwa aqidah Ahlus Sunnah dalam hal pelaku dosa besar adalah sebagai berikut:
1. Hukum pelaku dosa besar di akherat kelak berada di dalam kehendak Alloh Jalla Jalaluhu,jika Alloh menghendaki  akan  menyiksanya dan jika Alloh meng­hendaki mengampuninya.
  1. Pelaku dosa besar ia berhak mendapatkan siksa dan ma­suk ke dalam neraka dengan sebab dosa-dosanya.
  2. Pelaku dosa besar jika ma­suk ke dalam neraka tidaklah kekal di dalamnya.
  3. Adzab pelaku dosa besar di akherat tidaklah sebagaimana adzab terhadap orang kafir.
  4. Pelaku dosa besar pada akhirnya akan masuk surga setelah sempurna adzabnya di nera­ka.
Selanjutnya, perlu diketahui bahwa hukum tersebut di atas adalah hukum secara mutlak, adapun secara perorangan ada di antara mereka yang masuk ke dalam surga dengan tanpa diadzab di neraka sama sekali, berdasarkan hadits shohih yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya dari hadits Abdulloh bin Amr bin Ash, beliau berkata, Rosulullohshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya):
“Sesungguhnya Alloh akan mengkhususkan seorang laki-laki dari umatku di hadapan para makhluk kelak di hari kiamat, dibentangkan baginya sembilan puluh sembilan buku catatan, setiap buku catatan luasnya sejauh mata memandang kemudian Alloh berfirman. “Apakah eng­kau mengingkari ini? Apakah malaikat penulis amalan mendholimimu?” “Tidak, ya Alloh,” jawabnya. Alloh berfirman: “Apakah engkau memiliki udzur atau kebaikan?” Laki-laki terse­but terdiam lalu mengatakan: “Tidak , ya Alloh.” Alloh berfir­man: “Engkau mempunyai satu kebajikan, engkau hari ini tak terdholimi.” Lalu dikeluarkan untuknya sebuah kartu yang tertulis di dalamnya, Saya bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah secara haq kecuali Alloh dan bahwasanya nabi Mu­hammad adalah Rosululloh. Alloh berfirman: “Hadirkan dia.” Orang tersebut mengatakan: “Ya, Alloh apa (fungsi) kartu ini bila dibandingkan dengan catatan-catatan ini?!” Maka dikatakan kepadanya: “Engkau hari ini ti­daklah didholimi.” Rosululloh bersabda: “Maka diletakkanlah catatan-catatan tersebut di neraca, maka catatan-catatan tersebut naik ke atas (karena ringan) dan beratlah kartu tersebut, tidaklah berat sesuatupun (berhadapan) dengan nama Alloh yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” (HR. Ahmad: I/ 70, al-Hakim: 1/46, 47 dan beliau menshohihkannya dan telah menyetujuinya Imam adz-Dzahabi)
3. DALIL-DALIL I’TIQOD AHLUS SUNNAH DALAM HAL INI
Berikut ini dalil-dalil secara global yang digunakan oleh Ah­lus Sunnah dalam menetapkan i’tiqod dan hukum terhadap pelaku dosa besar:
A. Nash-nash yang menunjukkan bahwa orang yang tidak menyekutukan Alloh Ta’ala akan masuk surga dan sedemikian pula orang yang mengucapkan Laa ilaaha ilia Alloh,diantaranya:
1. Firman Alloh dalam surat an-Nisa’ [4]: 48

إِنَّ اللّهَ لاَ يَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَاءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللّهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْماً عَظِيماً

Sesungguhnya Alloh tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang le-bih kecil dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsia-pa yang mempersekutukan Alloh, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.
Alloh Ta’ala mengabarkan dalam ayat yang mulia ini bahwa seseorang jika melakukan kesyirikan tidaklah akan diampuni dosa kesyirikannya tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa dosa syirik yang tidak diampuni adalah apabila pelakunya meninggal dunia dan tidak bertau­bat darinya, berdasarkan firman Alloh ta’ala:

قُل لِلَّذِينَ كَفَرُواْ إِن يَنتَهُواْ يُغَفَرْ لَهُم مَّا قَدْ سَلَفَ وَإِنْ يَعُودُواْ فَقَدْ مَضَتْ سُنَّةُ الأَوَّلِينِ

Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu: “Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Alloh akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi, sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Alloh tenhadap) orang-orang dahulu. “. (QS. al-Anfal [8]:38)
Jika ia bertaubat darinya maka diampuni dosa kesyirikannya tersebut.
Ayat di atas (an-Nisa’ [4]: 48) menyebutkan pula bahwa dosa yang lebih kecil dari kesyirikan, jika Alloh menghendakinya akan diampuni walaupun pelakunya tidak bertaubat darinya. Sebagaimana ayat tersebut menunjukkan bahwa pelaku dosa yang lebih kecil dari kesyirikan adalah mukmin, karena tidaklah akan diampuni dan dimasukkan ke dalam surga kecuali seorang mukmin.
  1. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Tidaklah seorang hamba menemui Alloh dengan keduanya (Syahadat’ Asyhadu allaa ilaaha ilia Alloh dan Asyhadu anna Muhammadar Rosululloh)  dengan   tidak ada keraguan sedikitpun di dalam keduanya, kecuali masuk surga.” (HR. Muslim)
  2. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda (yang artinya): “Kewajiban hamba kepada Alloh adalah agar mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya sedikit pun dan hak hamba atas Alloh adalah bahwasanyaAlloh tidaklah   akan   mengadzab   orang yang tidak menyekutukan-Nya se­dikitpun.” (HR. Muslim: 30)
  3. Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam  bersabda: “Barangsiapa menemui-Ku dengan kesalahan sepenuh bumi, dengan tanpa menyekutukan-Ku sedikitpun, Aku akan menemuinya dengan ampunan sepenuh bumi pula.” (HR. Mus­lim: 2687)
Berkata Ibnu Rojab rahimahullah: “Barangsiapa datang membawa dosa sepenuh dunia bersama dengan ketauhidannya, maka Alloh akan mendatangkan ampunan yang semisalnya, namun semua ini adalah bersama de­ngan kehendak Alloh Ta’ala. Jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya dan kemudian kesudahannya akan dikeluarkan darinya dan dimasukkan ke dalam surga.”. (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam: 374)
B. Nash-nash yang menyatakan bahwa ahli tauhid tidak ma­suk ke dalam neraka atau tidak akan kekal di neraka bila memasukinya.
1.  Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) :.”Jibril datang kepadaku lalumemberi kabar gembira kepadaku, bahwasanya barangsiapa meninggal dunia dari kalangan umatmu dalam keadaan tidak menyekutukan kepada-Ku sedikitpun, ia akan ma­suk surga. Saya bertanya: “Walaupun ia berzina dan mencuri? ” Jibril menjawab:  Waluapun  ia  berzina dan mencuri.” (HR. Muslim)
2.   Dari   Ubadah   bin   Shomit, beliau berkata:  “Kami duduk-duduk   bersama Nabi dalam suatu majelis, lalu beliau ber­sabda:   “Berbaiatlah kalian kepa­daku  untuk tidak menyekutukan Alloh   sedikitpun,   tidak   berzina, tidak  mencuri,   tidak  membunuh jiwa yang diharamkan Alloh ke­cuali dengan haq. Barangsiapa di antara kalian memenuhinya maka pahalanya atas Alloh  Ta’ala dan barangsiapa melanggar sedikit dari hal tersebut kemudian ditegakkan siksa baginya di dunia, maka hal itu merupakan pelebur dosa baginya dan barangsiapa melanggar sedikit dari hal tersebut kemudian Alloh menutupi atasnya, maka perkaranya kembali kepada Alloh, jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan mengadzabnya.”   (HR.   Bukhori dan Muslim)
Berkata an-Nawawi rahimahullah: ‘”Barangsiapa melanggar ‘ sedikit dari hal tersebut’, maksudnya adalah selain kesyirikan, jika tidak, kesyirikan tidaklah akan diampuni (jika tidak bertaubat darinya). Dan beliau berkata pula: “Hadits ini menunjukkan bahwa kemaksiatan selain kekekafiran, pelakunya tidaklah dipastikan masuk ke dalam neraka, jika tidak bertaubat darinya, namun ia berada di bawah kehendak Alloh. Jika Alloh menghendaki akan mengampuninya dan jika Alloh menghendaki akan menyiksanya.”. (Syarh Shohih Muslim,11/223)
alhamdulillah selesai sampai di sini

Data-data lembaga agama Syi'ah

Bismillah...

Berikut adalah data-data lembaga agama Syi'ah di Indonesia.

1. Yayasan Fatimah. Jln. Batu Ampar III No. 14 Condet Jaktim
2. Tazkia Sejati Patra. Kuningan IX No. 6 Kuningan Jakarta Selatan
3. Yayasan Al Mahdi Jakarta Utara
4. Yayasan Al Muntazar. Komp Taman kota Blok E7/43 Kembangan Utara Jakarta Utara
5. Yayasan Madina Ilmu. Sawangan, Parung Depok Jawa Barat
6. Shaf Muslimin Indonesia. Cawang
7. IPABI> Bogor
8. Yayasan Insan Citra Prakarsa. Jln. Lontar No. 9 Menteng Atas Jaksel
9. Islamic Centre Cultural (ICC) Al Huda. Jln. Tebet Barat II No. 8, Tebet Jaksel
10. Yayasan Ash Shodiq Jln. Penggilingan No. 16 A, RT 01/07 Jaktim]
11. Pengajian Ummu Abiha.Jln. Pondok Hijau 6 No. 26, pondok Indah Jaksel]
12. Pengajian Al Bathul. Jln. Cililitan kecil Jaksel]
13. Yayasan Babul Ilmi. Jln. Taman Karmila Blok F3/15 Jatiwaringin Asri, Pondok Gede
14. Pengajian Haurah. Jln. Kampus I Sawangan Depok
15. MPII. Jln. Condet Raya 14. Condet Jaktim
16.FAHMI (Forum Alumni HMI) Depok Jln. Fatimah 323
17. Yayasan Azzahra Jln. Dewi Sartika Gg. Hj. M. Zen No. 17 RT. 007/05 Cawang Jaktim
18. Yayasan Al Jawad. Gegerkalong Girang No. 92 Bandung
19. Yayasan Muthahari. Jln. kampus II No. 32 Kebaktian Kiaracondong
20. Majelis Taklim Al Idrus. RT. 04/01 Cipaisan, Purwakarta
21. Yayasan Fatimah. Jln. Kartini Raya No. 11/13, Cirebon
22. Yayasan Al Kazim
23.Yayasan Al Baro'ah. Gg. Lenggan IV-66 Blok H Bumi Resik Panglayungan Tasikmalaya
24. Yayasan 10 Muharrom. Jln. Chincona 7, pangalengan, Bandung
25. Majelis Ta'lim Annur Jln. Otista No. 21 Tangerang
26. MT. Al Jawad. Jln. Raya TimurNo. 321 Singaparna, Tasikmalaya
27. Yayasan Al Mujtaba. Jln. Walangi No. 82 Kaum, Purwakarta
28. Yayasan Dar Taqrib. Jln. KH. Yasin 31A Jepara Jawa Tengah
29. Pesantren Al Hadi. Pekalongan
30. Yayasan Al Mujtaba. Jln. Pasar I/59, W
onosobo
31. Yayasan Ja'far Asshodiq. Jln. KH. Asy'ari II/1003/20 Bondowoso
32. Yayasan Al Yasin. Jln. Wonokusumo Kulon GG. 1/No. 2 Surabaya
33. Yayasan Al kautsar. Jln. Arif Margono 23 A, Malang Jatim
34. Pesantren YAPI. Jln. Pandaan Bangil, kenep beji Pasuruan, Jatim
35. Yayasan Al Kisa'. Jln. Teuku Umar Gg. Sesapi No. 1 Denpasar
36. Lembaga Komunikasi Ahlul Bait (LKAB). Jln. Bintaro, KODAM Grand Jaksel
37. Ikatan Jama'ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI)
38. Ikatan Persatuan Ahlul Bait indonesia (IPABI)
39. Yayasan LSII. Jln. Veteran Selatan, Lorong 40, No. 60 Makassar
40. Madrasah Nurul Iman. Selat segawin, Remu Selatan No. 2 Sorong

Awas, Syi’ah Mengancam Kita!


Segala puji hanyalah milik Allah Ta’ala.Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah, juga kepada keluarga beliau, para sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Wa ba’du :
Kaum muslimin yang dimuliakan Allah, sesungguhnya bahaya syi’ah bagi kaum muslimin sangatlah nyata.Contoh paling nyata ada di zaman ini, bagaimana saudara-saudara kita di Suriah sedang ditimpa cobaan karena berkuasanya seorang presiden syi’ah, Bashar Al Assad.Al Assad bersama bala tentaranya membantai kaum muslimin di Suriah, membunuhi wanita dan anak-anak, dan memaksa mereka bersujud kepada dirinya.
Hal ini tidaklah samar bagi kaum muslimin yang memiliki perhatian terhadap kondisi saudara-saudaranya di Suriah. Oleh karena itu, dalam rangka memperingatkan kaum muslimin akan bahaya syi’ah –di Indonesia khususnya-, kami ketengahkan kehadapan pembaca bagaimana perbedaan nyata antara kaum muslimin dengan syi’ah serta hitamnya rekam jejak mereka dalam sejarah dunia Islam dari beberapa sumber.
Pembahasan I : Pokok Aqidah Syi’ah yang Dinukil dari Kitab Mereka Sendiri
Al Qur’an milik syi’ah
Dalam kitab Al Kafi –yang bisa dikatakan “Shahih Bukhari”-nya orang syi’ah- karya Al Kulaini, dinukil riwayat bahwa syi’ah memiliki Al Qur’an yang berbeda, “Dari Abu Bashir, ia menuturkan : ‘Aku pernah masuk menemui Abu Abdillah (Ja’far Ash Shadiq), ia berkata, “Dan sesungguhnya kami memiliki mush-haf fathimah ‘alaihas salaam”. Aku bertanya, “Apa mush-haf fathimah itu?”.Ia menjawab, “Mush-haf seperti Al Qur’an kalian itu. Tiga kali lipat (tebalnya).Sungguh, demi Allah, tidak ada di dalamnya satu huruf pun dari Al Qur’an kalian!”(Al Kafi, hal. 57 edisi 1278 H di Iran)


 Abu Bakar dan ‘Umar di sisi syi’ah
Syi’ah menyebut Abu Bakar dan ‘Umar dengan sebutan “dua berhala Quraisy” dalam do’a mereka.Dalam kitab mereka yang berjudul Mafatihul Jinan halaman 114, bunyi do’a tersebut adalah, “Ya Allah, limpahkanlah shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad. Dan kutuklah dua berhala, dua sesembahan, dan dua tukang sihir Quraisy (yakni Abu Bakar Ash Shiddiq dan ‘Umar bin Khaththab), dan kedua anak wanita mereka berdua…”.Yang mereka maksud dengan dua anak wanita mereka berdua adalah Ummul Mukminin ‘Aisyah dan Ummul Mukminin Hafshah –semoga Allah meridhai mereka dan seluruh sahabat.
Hari terbunuhnya ‘Umar Al Faruq adalah hari raya
Ali bin Muzhahir –salah seorang tokoh mereka- meriwayatkan dari Ahmad bin Ishaq Al Kummi –syaikh dan pemuka-nya orang syi’ah- bahwa hari pembunuhan ‘Umar bin Al Khaththab adalah hari raya (‘ied) terbesar, hari pengagungan dan hari keberkahan.
Bahkan pembunuh ‘Umar, Abu Lu’lu’ah Al Majusi, dijuluki sebagai “Baba syuja’uddin” (Bapak pemberani).
Taqiyyah, senjatanya orang syi’ah
Itulah segelintir aqidah yang diyakini orang syi’ah.Sangat terlihat jelas perbedaan mereka dengan kaum muslimin.Mungkin fakta di atas sia-sia belaka bagi orang yang termakan tipuan orang syi’ah karena mungkin saja orang syi’ah tidak mau mengaku kalau mereka punya aqidah seperti ini.Tapi justru kebohongan dan kemunafikan ini adalah bagian dari aqidah syi’ah yang mereka sebut sebagai taqiyyah.
Dalam kitab Al Ushul minal Kafi bab At Taqiyyah jilid II halaman 219, disebutkan bahwa imam ke-5 mereka, Muhammad Al Baqir, meriwayatkan suatu hadits –menurut mereka- yang bunyinya, “Taqiyyah adalah kebiasaanku dan kebiasaan bapak-bapakku. Dan tidak beriman orang yang tidak bertaqiyyah!”
Maka janganlah tertipu wahai kaum muslimin!!

 Pembahasan II : Lembar Hitam Syi’ah dalam Sejarah Dunia Islam
Jatuhnya Kota Baghdad
Pada tahun 656 H, Hulagu Khan (Raja Tatar) berhasil menguasai kota Baghdad yang saat itu menjadi pusat peradaban Islam di bawah kekuasaan Bani Abbasiyyah. Keberhasilan invansi Tatar ini tidak lepas dari peran 2 orang Syi’ah, yaituMu`yyiduddin Muhammad Ibnul Alqamy (menteri khalifah Mu’tashim –khalifah pada masa itu-) dan  Nashirudin Ath Thusi (penasehat Hulagu).
Ibnul Alqamy mengusulkan kepada khalifah untuk mengurangi jumlah pasukan dengan alasan untuk menghemat biaya.Hal itu pun diikuti oleh khalifah.Padahal itu ialah taktik untuk melemahkan kekuatan pasukan.Hingga akhirnya jumlah pasukan yang semula 100.000 menjadi hanya 10.000.
Selain itu, Ibnu Alqamy juga memberi motivasi kepada Hulaguuntuk menguasai Baghdad. Itu semua ia lakukan demi memberantas sunnah, menampakkan bid’ah rafidhah, dan mengganti kekuasaan dari Bani Abbasiyyah kepada Alawiyyah.
Pasukan Hulagu pun kemudian bergerak menuju Baghdad dan berhasil menguasai sebagian wilayah Bagdad.Mereka membunuh para ahli fiqih dan tokoh Islam pada masa itu, salah satunya adalah Muhyiddin Ibnul Jauzi.Lalu, pembantaian berlanjut kepada seluruh penduduk Bagdad. Tidak ada yang tersisa dari penduduk kotaBagdad kecuali yang bersembunyi, (termasuk khalifah Muktashim sendiri ikut dibunuh). Pembantaian tersebut berlangsung selama 40 hari dengan korban tewas mencapai satu jutaorang.
Selain peran Ibnul Alqami, peristiwa ini juga tidak lepas dari peran seorang Syi’ah lainnya bernama Nashirudin At Thushi, penasehat Hulagu yang dari jauh-jauh hari telah mempengaruhi Hulagu untuk menguasai kota Bagdad. [Lihat Al Bidayah wa Al Nihayah, vol. 13, hal. 192, 234 – 237, Al-Nujuum Al Zaahirah fii Muluuk Mishr wa Al Qahirah, vol. 2, hal. 259 – 260]

 Syi’ah Qaramithah
Al Hafidz Ibnu Katsir dalam (Al Bidayah wa Al Nihayah, vol. 11, hal. 149) menceritakan, di antara peristiwa pada tahun 312 H bulan Muharram, Abu Thahir Al Husain bin Abu Sa’id Al Janabi –semoga Allah melaknatnya- menyerang (merampok dan membunuh) para jemaah haji yang tengah dalam perjalanan pulang dari baitullah dan telah menunaikan kewajiban haji.
Ibnu Katsir juga menceritakan pada tahun 317 H, orang-orang Syi’ah Qaramithah telah mencuri hajar aswad dari baitullah.Orang-orang Qaramithah terus membunuhi orang-orang.Setelah selesai, orang-orang Qaramithah membuang para korban di sumur zamzam dan tempat-tempat di masjidil haram.
Qubbah zamzam dihancurkan, pintu kabah dicopot dan kiswahnya dilepaskan kemudian dirobek-robek.Selama 22 tahun hajar aswad bersama mereka hingga akhirnya mereka kembalikan pada tahun 339 H.

Daulah Shafawiyyah (Cikal Bakal Syi’ah di Iran)
Dahulu, hampir 90% penduduk Iran menganut akidah ahli sunnah bermadzhab Syafi’i. Hingga pada abad ke-10 H tegaklah daulah Shafawiyyah dibawah kepemimpinan Isma’il Ash-Shafawi.Ia pun kemudian mengumumkan bahwa ideologi negara adalah Syi’ah Imamiyyah Itsna Asyriyyah, serta memaksa para warga untuk juga menganutnya.
Ia sangat terkenal sebagai pemimpin yang bengis dan kejam. Sejarah mencatat, ia telah membunuh sekitar satu juta muslim ahli sunnah, merampas harta, menodai kehormatan, memperbudak wanita mereka dan memaksa para khatib ahli sunnah untuk mencela para khalifah rasyidin yang tiga (Abu Bakar, Umar dan Utsman –semoga Allah meridhai mereka) serta untuk mengkultuskan para imam 12.
Tidak hanya itu, ia juga memerintahkan untuk membongkar kuburan ulama kaum muslimin dari kalangan ahli sunnah dan membakar tulang belulangnya
Iatelah membunuh puluhan ribu ahli sunnah. Hingga ia pun berhasil menyerang Baghdad dan menguasainya [dinukil dari Tuhfatul Azhar wa Zallaatu al Anhar, Ibnu Syaqdim As-Syi’i via al Masyru’ al Irani al Shafawi al Farisi, hal. 20 -21]

Suriah kini
Dan yang paling terbaru adalah apa yang terjadi di Suriah saat ini. Seorang presiden syi’ah, Bashar Al Assad, dengan sokongan negri syi’ah, Iran, dan kelompok Hizbullah pimpinan Hasan Nasrullah, membantai warganya sendiri, ahlus sunnah Suriah. Mereka membunuh anak-anak, wanita, dan orang lanjut usia, serta memperkosa, mengebom rumah sakit, dan lainnya. Begitulah syi’ah.Sepanjang zaman selalu membuat sejarah hitam kelam.Oleh karena itu, hendaknya kaum muslimin di Indonesia berhati-hati dengan tipu daya syi’ah. Seandainya syi’ah dibiarkan berkembang di negri ini, tidaklah mustahil Indoesia akan menjadi Suriah selanjutnya. Semoga Allah menyelamatkan kita dan seluruh kaum muslimin di dunia dari kejahatan syi’ah dan bala tentaranya.
Diringkas dari :
“Mungkinkah Sunni & Syi’ah Bersatu?” karya Syaikh Muhibbudin Al Khatib, cet. Pustaka Muslim
http://muslim.or.id/sejarah-islam/potret-kejahatan-syiah-dalam-sejarah.html

HUKUM UPACARA PERINGATAN MALAM NISFU SYA'BAN


Segala puji hanyalah bagi Allah yang telah menyempurnakan agama-Nya bagi kita, dan mencukupkan nikmat-Nya kepada kita, semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam pengajak ke pintu tobat dan pembawa rahmat.

Amma ba'du:

Sesungguhnya Allah telah berfirman:
"Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu." [Al-Maidah :3]

" Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan untuk mereka agama yang tidak diridhoi Allah? Sekirannya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah) tentulah mereka sudah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang zhalim itu akan memperoleh adzab yang pedih." [Asy-Syura' : 21]

Dari Aisyah radhiallahu 'anha dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, bahwa beliau bersabda, "Barangsiapa mengada-adakan suatu perkara (dalam agama) yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dalam lafazh Muslim: "Barangsiapa mengerjakan perbuatan yang tidak kami perintahkan (dalam agama), maka ia tertolak."

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya Nabi pernah bersabda dalam khutbah Jum'at: Amma ba'du, sesungguhnya sebaik- baik perkataan adalah Kitab Allah (Al-Qur'an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam, dan sejahat-jahat perbuatan (dalam agama) ialah yang diada-adakan, dan setiap bid'ah (yang diada-adakan) itu adalah sesat."

Masih banyak lagi hadits-hadits yang senada dengan hadits ini, hal mana semuanya menunjukkan dengan jelas, bahwasanya Allah telah menyempurnakan agama ini untuk umat-Nya. Dia telah mencukupkan nikmat- Nya bagi mereka; Dia tidak mewafatkan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam kecuali sesudah beliau menyelesaikan tugas penyampaian risalahnya kepada umat dan menjelaskan kepada mereka seluruh syariat Allah, baik melalui ucapan maupun pengamalan. Beliau menjelaskan segala sesuatu yang akan diada-adakan oleh sekelompok manusia sepeninggalnya dan dinisbahkan kepada ajaran Islam baik berupa ucapan maupun perbuatan, semuanya itu bid'ah yang tertolak, meskipun niatnya baik. Para shahabat dan ulama' mengetahui hal ini, maka mengingkari perbuatan-perbuatan bid'ah dan memperingatkan kita darinya. Hal itu disebutkan oleh mereka yang mengarang tentang pengagungan sunnah dan pengingkaran bid'ah, seperti Ibnu Wadhdhoh Ath Tharthusyi dan Abu Syaamah dan lain sebagainya.

Di antara bid'ah yang biasa dilakukan oleh banyak orang ialah bid'ah mengadakan upacara peringatan malam Nisfu Sya'ban dan mengkhususkan pada hari tersebut dengan puasa tertentu. Padahal tidak ada satupun dalil yang dapat dijadikan sandaran, ada hadist-hadits tentang fadhilah malam tersebut tetapi hadits-hadits tersebut dlaif sehingga tidak dapat dijadikan landasan. Adapun hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan shalat pada hari itu adalah maudhu'.

Dalam hal ini, banyak di antara para 'ulama yang menyebutkan tentang lemahnya hadits-hadits yang berkenaan dengan pengkhususan puasa dan fadhilah shalat pada hari Nisfu Sya'ban, selanjutnya akan kami sebutkan sebagian dari ucapan mereka. Pendapat para ahli Syam di antaranya Hafizh Ibnu Rajab dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif" mengatakan bahwa perayaan malam Nisfu Sya'ban adalah bid'ah dan hadits-hadits yang menerangkan keutamaannya lemah. Hadits-hadits lemah bisa diamalkan dalam ibadah jika asalnya didukung oleh hadits-hadits shahih, sedangkan upacara perayaan malam Nisfu Sya'ban tidak ada dasar hadits yang shahih sehingga tidak bisa didukung dengan dalil hadits- hadits dhaif.

Ibnu Taimiyah telah menyebutkan kaidah ini dan kami akan menukil pendapat para ahli ilmu kepada sidang pembaca sehingga masalahnya menjadi jelas; para ulama' telah bersepakat bahwa merupakan suatu keharusan untuk mengembalikan segala apa yang diperselisihkan manusia kepada Kitab Allah (Al-Qur'an) dan Sunnan Rasul (Al-Hadits), apa saja yang telah digariskan hukumnya oleh keduanya atau salah satu daripadanya, maka wajib diikuti dan apa saja yang bertentangan dengan keduanya maka harus ditinggalkan, serta segala sesuatu amalan ibadah yang belum pernah disebutkan adalah bid'ah; tidak boleh dikerjakan apabila mengajak untuk mengerjakannya atau memujinya.

Allah berfirman dalam surat An-Nisaa':
"Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan Ulil Amri (pemimpin-pemimpin) di antara kamu, maka jika kamu berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur'an) dan Rasul (Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya." [An-Nisaa': 59]

" Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka keputusannya (terserah) kepada Allah (yang mempunyai sifat-sifat demikian) itulah Tuhanku. Kepada-Nyala aku bertawakkal dan kepada-Nyalah aku kembali." [Asy-Syuraa: 10]

" Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa sesuatu keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya." [An-Nisaa' : 65]

Dan masih banyak lagi ayat-ayat Al-Qur'an yang semakna dengan ayat- ayat di atas, ia merupakan nash atau ketentuan hukum yang mewajibkan agar supaya masalah-masalah yang diperselisihkan itu dikembalikan kepada Al-Qur'an dan Hadits, selain mewajibkan kita agar rela terhadap hukum yang ditetapkan oleh keduanya (Al-Qur'an dan Hadits).

Demikianlah yang dikehendaki oleh Islam, dan merupakan perbuatan baik bagi seorang hamba terhadap Tuhannya, baik di dunia atau di akherat nanti, sehingga pastilah ia akan menerima balasan yang setimpal.

Dalam pembicaraan masalah malam Nisfu Sya'ban Ibnu Rajab berkata dalam bukunya "Lathaiful Ma'arif", "Para Tabi'in dari ahli Syam (Syiria, sekarang) seperti Khalid bin Ma'daan, Makhul, Luqman dan lainnya pernah mengagung-agungkan dan berijtihad melakukan ibadah pada malam Nisfu Sya'ban kemudian orang- orang berikutnya mengambil keutamaan dan pengagungan itu dari mereka.

Dikatakan bahwa mereka melakukan perbuatan demikian itu karena adanya cerita-cerita israiliyat, tatkala masalah itu tersebar ke penjuru dunia, berselisihlah kaum muslimin; ada yang menerima dan menyetujuinya ada juga yang mengingkarinya. Golongan yang menerima adalah Ahli Bashrah dan lainnya, sedang golongan yang mengingkarinya adalah mayoritas ulama Hijaz (Saudi Arabia, sekarang), seperti Atha' dan Ibnu Abi Malikah dan dinukil oleh Abdurrahman bin Zaid bi Aslam dari fuqaha' Madinah, yaitu ucapan Ashhabu Malik dan lain-lainnya. Mereka mengatakan bahwa semua perbuatan itu bid'ah. Adapun pendapat ulama' ahli Syam berbeda dalam pelaksanaannya dengan dua pendapat:

[1]. Menghidup-hidupkan malam Nisfu Sya'ban dalam masjid dengan berjamah adalah mustahab (disukai Allah).

Dahulu Khalid bin Ma'daan dan Luqman bin Amir memperingati malam tersebut dengan memakai pakaian paling baru dan mewah, membakar menyan, memakai celak dan mereka bangun malam menjalankan shalatul lail di masjid. Ini disetujui oleh Ishaq bin Ruhwiyah, ia berkata: "Menjalankan ibadah di masjid pada malam itu secara jamaah tidak bid'ah." Hal ini dicuplik oleh Harbu Al-Kirmany.

[2]. Berkumpulnya manusia pada malam Nisfu Sya'ban di masjid untuk shalat, bercerita dan berdo'a adalah makruh hukumnya, tetapi boleh jika menjalankan shalat khusus untuk dirinya sendiri. Ini pendapat Auza'iy Imam Ahlu Syam, sebagai ahli fiqh dan cendekiawan mereka. Insya Allah pendapat inilah yang mendekati kebenaran, sedangkanpendapat Imam Ahmad tentang malam tentang malam Nisfu Sya'ban ini,tidak diketahui."

Ada dua riwayat sebagai sebab cenderungnya diperingati malam Nisfu Sya'ban, dari antara dua riwayat yang menerangkan tentang dua malam hari raya (Idul Fitri dan Idul Adha). Dalam satu riwayat berpendapat bahwa memperingati dua malam hari raya dengan berjamaah adalah tidak disunnahkan, karena hal itu belum pernah dikerjakan oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam dan para shahabatnya. Riwayat lain berpendapat bahwa malam tersebut disunnahkan, karena Abdurrahman bin Yazid bin Aswad pernah mengerjakannya, dan ia termasuk tabi'in, begitu pula tentang malam Nisfu Sya'ban, Nabi belum pernah mengerjakannya atau menetapkannya, termasuk juga para sahabat, itu hanya ketetapan dari golongan tabi'in ahli fiqih Syam. Demikian maksud dari Al-Hafizh Ibnu Rajab (semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya).

Ia mengomentari bahwa tidak ada suatu ketetapan pun tentang malam Nisfu Sya'ban ini, baik itu dari Nabi maupun dari para shahabat. Adapun pendapat Imam Auza'iy tentang bolehnya (istihbab) menjalankan shalat pada malam hari itu secara individu dan penukilan Al-Hafizh Ibnu Rajab dalam pendapatnya itu adalah gharib dan dhaif, karena segala perbuatan syariah yang belum pernah ditetapkan oleh dalil-dalil syar'iy, tidak boleh bagi seorang pun dari kaum muslimin mengada- adakannya dalam Islam, baik itu dikerjakan secara individu ataupun kolektif, baik itu dikerjakan secara sembunyi-sembunyi ataupun terang- terangan, sebab keumuman hadits Nabi:

"Barangsiapa mengerjakan suatu amalan (dalam agama) yang tidak kami perintahkan, maka ia tertolak."

Dan banyak lagi hadits-hadits yang mengingkari perbuatan bid'ah dan memperingatkan agar dijauhi.

Imam Abubakar Ath-Thurthusyiy berkata dalam bukunya, "Al-Hawadits wal Bida", "Diriwayatkan oelh Wadhdhah dari Zaid bin Aslam berkata: kami belum pernah melihat seorang pun dari sesepuh dan ahli fiqih kami yang menghadiri perayaan malam Nisfu Sya'ban, tidak mengindahkan hadits Makhul (dhaif) dan tidak pula memandang adanya keutamaan pada malam tersebut terhadap malam-malam lainnya. Dikatakan kepada Ibnu Malikah bahwasanya Ziad An Numairiy berkata: Pahala yang didapat (dari ibadah) pada malam Nisfu Sya'ban menyamai pahala Lailatul Qadar. Ibnu Malikah menjawab: Seandainya saya mendengarnya sedang di tangan saya ada tongkat, pasti saya pukul. Ziad adalah seorang penceramah.

Al-'Allaamah Syaukani menulis dalam bukunya, Al-Fawaaidul Majmu'ah, sebagai berikut: Hadits:

"Wahai Ali, barangsiapa melakukan shalat pada malam Nisfu Sya'ban sebanyak 100 rakaat; ia membaca setiap rakaat Al-Fatihah dan Qul Huwallahu Ahad sebanyak sepuluh kali, pasti Allah memenuhi segala kebutuhannya... dan seterusnya."

Hadits ini adalah maudhu' (palsu), pada lafazh-lafazhnya menerangkan tentang pahala yang akan diterima oleh pelakunya adalah tidak diragukan kelemahannya bagi orang berakal, sedangkan sanadnya majhul (tidak dikenal). Hadits ini diriwayatkan dari jalan kedua dan ketiga, kesemuanya maudhu' dan perawi-perawinya majhul.

Dalam kitab "Al Mukhtashar" Syaukani melanjutkan : Hadits yang menerangkan shalat Nisfu Sya'ban adalah batil. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits dari Ali radhiallahu 'anhu: Jika datang malam Nisfu Sya'ban bershalat malamlah dan berpuasalah pada siang harinya, adalah dhaif. Dalam buku Allaali' diriwayatkan bahwa: Seratus rakaat dengan tulus ikhlas pada malam Nisfu Sya'ban adalah pahalanya sepuluh kali lipat. Hadits riwayat Ad Dailamiy, hadits ini maudhu' tetapi mayoritas perawinya pada jalan ketiga majhul dan dhaif (leman). Imam Syaukani berkata: Hadits yang menerangkan bahwa dua belas rakaat dengan tulus ikhlas pahalanya adalah tiga puluh kali lipat, maudhu'. Dan hadits empat belas rakaat ... dan seterusnya adalah maudhu' (tidakbisa diamalkan dan harus ditinggalkan, pent).

Para fuqaha' banyak tertipu dengan hadits-hadits di atas, seperti pengarang Ihya' Ulumuddin dan lainnya juga sebagian dari mufassirin. Telah diriwayatkan bahwa, shalat pada malam ini, yakni malam Nisfu Sya'ban yang telah tersebar ke seluruh pelosok dunia itu, semuanya adalah bathil/tidak benar dan haditsnya adalah maudhu'.

Anggapan itu tidak bertentangan dengan riwayat Tirmidzi dari hadits Aisyah bahwa Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam pergi ke Baqi' dan Tuhan turun ke langit dunia pada malam Nisfu Sya'ban untuk mengampuni dosa sebanyak jumlah bulu domba dan bulu kambing. Sesungguhnya perkataan tersebut berkisar tentang shalat pada malam itu, tetapi hadits Aisyah ini lemah dan sanadnya munqathi' (terputus) sebagaimana hadits Ali yang telah disebutkan di atas mengenai malam Nisfu Sya'ban, jadi dengan jelas bahwa shalat malam itu juga lemah dasarnya.

Al-Hafizh Al-Iraqi berkata: Hadits (yang menerangkan) tentang shalat Nisfu Sya'ban maudhu' dan pembohongan atas diri Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam. Dalam kitab Al Majmu', Imam Nawawi berkata: Shalat yang sering kita kenal dengan shalat Raghaib ada (berjumlah) dua belas raka'at dikerjakan antara Maghrib dan Isya' pada malam Jum'at pertama bulan Rajab; dan shalat seratus rakaat pada malam Nisfu Sya'ban. Dua shalat itu adalah bid'ah dan mungkar. Tak boleh seseorang terpedaya oleh kedua hadits itu hanya karena telah disebutkan di dalam buku Quutul Quluub dan Ihya' Ulumuddin. Sebab pada dasarnya hadits-hadits tersebut batil (tidak boleh diamalkan). Kita tidak boleh cepat mempercayai orang-orang yang menyamarkan hukum bagi kedua hadits, yaitu dari kalangan Aimmah yang kemudian mengarang lembaran-lembaran untuk membolehkan pengamalan kedua hadits, dengan demikian berarti salah kaprah.

Syaikh Imam Abu Muhammad Abdurrahman Ibnu Ismail al Muqadaasiy telah mengarang sebuah buku yang berharga; Beliau menolak (menganggap batil) kedua hadits (tentang malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab), ia bersikap (dalam mengungkapkan pendapatnya) dalam buku tersebut, sebaik mungkin. Dalam hal ini telah banyak pengapat para ahli ilmu; maka jika kita hendak memindahkan pendapat mereka itu, akan memperpanjang pembicaraan kita. Semoga apa-apa yang telah kita sebutkan tadi, cukup memuaskan bagi siapa saja yang berkeinginan untuk mendapat sesuatu yang haq.

Dari penjelasan di atas tadi, seperti ayat-ayat Al-Qur'an dan beberapa hadits serta pendapat para ulama, jelaslah bagi pencari kebenaran (haq) bahwa peringatan malam Nisfu Sya'ban dengan pengkhususan shalat atau lainnya, dan pengkhususan siang harinya dengan puasa; itu semua adalah bid'ah dan mungkar tidak ada dasar sandarannya dalam syariat ini (Islam), bahkan hanya merupakan pengada-adaan saja dalam Islam setelah masa hidupnya para shahabat radhiallahu 'anhu. Marilah kita hayati ayat Al-Qur'an di bawah:

" Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmat-Ku dan telah Kuridhoi Islam sebagai agama bagimu."[Al-Maidah : 3]

Dan banyak lagi ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat di atas. Selanjutnya Nabi shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Barangsiapa mengada-adakan sesuatu perkara dalam agama (sepeninggalku), yang sebelumnya belum pernah ada, maka ia tertolak."

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah pernah bersabda: "Janganlah kamu sekalian mengkhususkan malam Jum'at daripada malam-malam lainnya dengan suatu shalat, dan janganlah kamu sekalian mengkhususkan siang hariny autk berpuasa daripada hari-hari lainnya, kecuali jika (sebelumnya) hari itu telah berpuasa seseorang di antara kamu." [Hadits Riwayat. Muslim]

Seandainya pengkhususan suatu malam dengan ibadah tertentu itu dibolehkan oleh Allah, maka bukanlah malam Jum'at itu lebih baik daripada malam-malam lainnya, karena pada hari itu adalah sebaik-baik hari yang disinari matahari? Hal ini berdasarkan hadits-hadits
Rasulullah yang shahih.

Tatkala Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam melarang untuk mengkhususkan shalat pada malam hari itu daripada malam lainnya, hal itu menunjukkan bahwa pada malam lain pun lebih tidak boleh dikhususkan dengan ibadah tertentu, kecuali jika ada dalil shahih yang mengkhususkannya/menunjukk
an atas kekhususannya. Menakala malam Lailatul Qadar dan malam-malam blan puasa itu disyariatkan supaya shalat dan bersungguh-sungguh dengan ibadah tertentu. Nabi mengingatkan dan menganjurkan kepada umatnya agar supaya melaksanakannya, beliau pun juga mengerjakannya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits shahih dari Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi
wasallam, bahwasanya beliau bersabda:

"Barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada bulan Ramadhan dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat. Dan barangsiapa berdiri (melakukan shalat) pada malam Lailatul Qadar dengan penuh rasa iman dan harapan (pahala), niscaya Allah akan mengampuni dosanya yang telah lewat." [Muttafaqun 'alaih]

Jika seandainya malam Nisfu Sya'ban, malam Jum'at pertama pada bulan Rajab, serta malam Isra' Mi'raj diperintahkan untuk dikhususkan dengan upacara atau ibadah tentang, pastilah Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam menunjukkan kepada umatnya atau beliau menjalankannya sendiri. Jika memang hal itu pernah terjadi, niscaya telah disampaikan oleh para shahabat kepada kita; mereka tidak akan menyembunyikannya,
karena mereka adalah sebaik-baik manusia dan yang paling banyak memberi nasehat setelah para nabi.

Dari pendapat-pendapat ulama' tadi anda dapat menyimpulkan bahwasanya tidak ada ketentuan apapun dari Rasulullah ataupun dari para shahabat tentang keutamaan malam Nisfu Sya'ban dan malam Jum'at pertama pada bulan Rajab. Dari sini kita tahu bahwa memperingati perayaan kedua malam tersebut adalah bid'ah yang diada-adakan dalam Islam, begitu pula pengkhususan dengan ibadah tentang adalah bid'ah mungkar; sama halnya dengan malam 27 Rajab yang banyak diyakini orang sebagai malam Isra' dan Mi'raj, begitu juga tidak boleh dikhususkan dengan ibadah- ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan ibadah-ibadah tertentu selain tidak boleh dirayakan dengan upacara-upacara ritual, berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan tadi.

Demikianlah, maka jika anda sekalian sudah mengetahui, bagaimana sekarang pendapat anda? Yang benar adalah pendapat para ulama' yang menandaskan tidak diketahuinya malam Isra' dan Mi'raj secara tepat. Omongan orang bahwa malam Isra dan Mi'raj itu jatuh pada tanggal 27 Rajab adalah batil, tidak berdasarkan pada hadits-hadits shahih. Maka benar orang yang mengatakan;

"Dan sebaik-baik suatu perkara adalah yang telah dikerjakan oleh para salaf, yang telah mendapat petunjuk. Dan sehina-hina perkara (dalam agama), yaitu perkara yang diada-adakan berupa bid'ah-bid'ah."

Allah lah yang bertanggung jawab untuk melimpahkan taufiq-Nya kepada kita dan kaum muslimin semua, taufiq untuk tetap berpegang teguh dengan sunnah dan konsisten di atasnya, serta waspada terhadap hal-hal yang bertentangan dengannya, karena hanya Allah yang terbaik dan termulia.

Semoga shalawat dan salam selalu dilimpahkan kepada hamba-nya dan Rasul-Nya Muhammad shalallahu 'alaihi wasallam begitu pula atas keluarga dan para shahabat beliau. Amiin.

Artikel terkait masalah ini dapat di lihat pada artikel dengan judul :
- SERBA SERBI BULAN SYA'BAN
- BENARKAH SHALAT DAN PUASA NISFU SYA'BAN ADALAH BID'AH ?

[Disalin dari kitab Waspada Terhadap Bid’ah Oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Penerjemah Farid Ahmad Oqbah, Riyadh: Ar-Raisah Al-'Ammah li-IdaratiAl-Buhuts Al-'Ilmiah wa Al-Ifta' wa Ad-Da'wah wa Al-Irsyad, 1413 H]