http://abufayruz.blogspot.com/2010/07/dan-syaikh-al-albani-pun-menangis.html

Apa itu Wahabi?




بسم الله الرحمن الرحيم

إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمداً عبده ورسوله، صلى الله عليه وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بإحسانٍ إلى يوم الدين.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنتُم مُّسْلِمُونَ

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيراً وَنِسَاء وَاتَّقُواْ اللّهَ الَّذِي تَسَاءلُونَ بِهِ وَالأَرْحَامَ إِنَّ اللّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا . يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَن يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا

فإن أصدقَ الحديث كتاب الله وخيرَ الهدي هديُ محمد صلى الله عليه وسلم وشرَّ الأمور محدثاتها وكلَّ محدثة بدعة وكلَّ بدعة ضلالة وكلَّ ضلالة في النار، أما بعد ؛

Pertama dan utama sekali kita ucapkan puji syukur kepada Allah subhaanahu wa ta’ala, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita, sehingga pada kesempatan yang sangat berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam rangka menambah wawasan keagamaan kita sebagai salah satu bentuk aktivitas ‘ubudiyah kita kepada-Nya. Kemudian salawat beserta salam buat Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang telah bersusah payah memperjuangkan agama yang kita cintai ini, untuk demi tegaknya kalimat tauhid di permukaan bumi ini, begitu pula untuk para keluarga dan sahabat beliau beserta orang-orang yang setia berpegang teguh dengan ajaran beliau sampai hari kemudian.

Selanjutnya tak lupa ucapan terima kasih kami aturkan untuk para panitia yang telah memberi kesempatan dan mempercayakan kepada kami untuk berbicara di hadapan para hadirin semua pada kesempatan ini, serta telah menggagas untuk terlaksananya acara tabliq akbar ini dengan segala daya dan upaya semoga Allah menjadikan amalan mereka tercatat sebagai amal saleh di hari kiamat kelak, amiin ya Rabbal ‘alamiin.

Dalam kesempatan yang penuh berkah ini, panitia telah mempercayakan kepada kami untuk berbicara dengan topik: Apa Wahabi Itu?, semoga Allah memberikan taufik dan inayah-Nya kepada kami dalam mengulas topik tersebut.

Pertanyaan yang amat singkat di atas membutuhkan jawaban yang cukup panjang, jawaban tersebut akan tersimpul dalam beberapa poin berikut ini:

  • Keadaan yang melatar belakangi munculnya tuduhan wahabi.
  • Kepada siapa ditujukan tuduhan wahabi tersebut diarahkan?.
  • Pokok-pokok landasan dakwah yang dicap sebagai wahabi.
  • Bukti kebohongan tuduhan wahabi terhadap dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah.
  • Ringkasan dan penutup.
Keadaan yang Melatar Belakangi Munculnya Tuduhan Wahabi

Para hadirin yang kami hormati, dengan melihat gambaran sekilas tentang keadaan Jazirah Arab serta negeri sekitarnya, kita akan tahu sebab munculnya tuduhan tersebut, sekaligus kita akan mengerti apa yang melatarbelakanginya. Yang ingin kita tinjau di sini adalah dari aspek politik dan keagamaan secara umum, aspek aqidah secara khusus.

Dari segi aspek politik Jazirah Arab berada di bawah kekuasaan yang terpecah-pecah, terlebih khusus daerah Nejd, perebutan kekuasaan selalu terjadi di sepanjang waktu, sehingga hal tersebut sangat berdampak negatif untuk kemajuan ekonomi dan pendidikan agama.

Para penguasa hidup dengan memungut upeti dari rakyat jelata, jadi mereka sangat marah bila ada kekuatan atau dakwah yang dapat akan menggoyang kekuasaan mereka, begitu pula dari kalangan para tokoh adat dan agama yang biasa memungut iuran dari pengikut mereka, akan kehilangan objek jika pengikut mereka mengerti tentang aqidah dan agama dengan benar, dari sini mereka sangat hati-hati bila ada seseorang yang mencoba memberi pengertian kepada umat tentang aqidah atau agama yang benar.

Dari segi aspek agama, pada abad (12 H / 17 M) keadaan beragama umat Islam sudah sangat jauh menyimpang dari kemurnian Islam itu sendiri, terutama dalam aspek aqidah, banyak sekali di sana sini praktek-praktek syirik atau bid’ah, para ulama yang ada bukan berarti tidak mengingkari hal tersebut, tapi usaha mereka hanya sebatas lingkungan mereka saja dan tidak berpengaruh secara luas, atau hilang ditelan oleh arus gelombang yang begitu kuat dari pihak yang menentang karena jumlah mereka yang begitu banyak di samping pengaruh kuat dari tokoh-tokoh masyarakat yang mendukung praktek-praktek syirik dan bid’ah tersebut demi kelanggengan pengaruh mereka atau karena mencari kepentingan duniawi di belakang itu, sebagaimana keadaan seperti ini masih kita saksikan di tengah-tengah sebagian umat Islam, barangkali negara kita masih dalam proses ini, di mana aliran-aliran sesat dijadikan segi batu loncatan untuk mencapai pengaruh politik.

Pada saat itu di Nejd sebagai tempat kelahiran sang pengibar bendera tauhid Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab sangat menonjol hal tersebut. Disebutkan oleh penulis sejarah dan penulis biografi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, bahwa di masa itu pengaruh keagamaan melemah di dalam tubuh kaum muslimin sehingga tersebarlah berbagai bentuk maksiat, khurafat, syirik, bid’ah, dan sebagainya. Karena ilmu agama mulai minim di kalangan kebanyakan kaum muslimin, sehingga praktek-praktek syirik terjadi di sana sini seperti meminta ke kuburan wali-wali, atau meminta ke batu-batu dan pepohonan dengan memberikan sesajian, atau mempercayai dukun, tukang tenung dan peramal. Salah satu daerah di Nejd, namanya kampung Jubailiyah di situ terdapat kuburan sahabat Zaid bin Khaththab (saudara Umar bin Khaththab) yang syahid dalam perperangan melawan Musailamah Al Kadzab, manusia berbondong-bondong ke sana untuk meminta berkah, untuk meminta berbagai hajat, begitu pula di kampung ‘Uyainah terdapat pula sebuah pohon yang diagungkan, para manusia juga mencari berkah ke situ, termasuk para kaum wanita yang belum juga mendapatkan pasangan hidup meminta ke sana.

Adapun daerah Hijaz (Mekkah dan Madinah) sekalipun tersebarnya ilmu dikarenakan keberadaan dua kota suci yang selalu dikunjungi oleh para ulama dan penuntut ilmu. Di sini tersebar kebiasaan suka bersumpah dengan selain Allah, menembok serta membangun kubah-kubah di atas kuburan serta berdoa di sana untuk mendapatkan kebaikan atau untuk menolak mara bahaya dsb (lihat pembahasan ini dalam kitab Raudhatul Afkar karangan Ibnu Qhanim). Begitu pula halnya dengan negeri-negeri sekitar hijaz, apalagi negeri yang jauh dari dua kota suci tersebut, ditambah lagi kurangnya ulama, tentu akan lebih memprihatinkan lagi dari apa yang terjadi di Jazirah Arab.

Hal ini disebut Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya al-Qawa’id Arba’: “Sesungguhnya kesyirikan pada zaman kita sekarang melebihi kesyirikan umat yang lalu, kesyirikan umat yang lalu hanya pada waktu senang saja, akan tetapi mereka ikhlas pada saat menghadapi bahaya, sedangkan kesyirikan pada zaman kita senantiasa pada setiap waktu, baik di saat aman apalagi saat mendapat bahaya.” Dalilnya firman Allah:

فَإِذَا رَكِبُوا فِي الْفُلْكِ دَعَوُا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ فَلَمَّا نَجَّاهُمْ إِلَى الْبَرِّ إِذَا هُمْ يُشْرِكُونَ

“Maka apabila mereka menaiki kapal, mereka berdoa kepada Allah dengan mengikhlaskan agama padanya, maka tatkala Allah menyelamatkan mereka sampai ke daratan, seketika mereka kembali berbuat syirik.” (QS. al-Ankabut: 65)

Dalam ayat ini Allah terangkan bahwa mereka ketika berada dalam ancaman bencana yaitu tenggelam dalam lautan, mereka berdoa hanya semata kepada Allah dan melupakan berhala atau sesembahan mereka baik dari orang sholeh, batu dan pepohonan, namun saat mereka telah selamat sampai di daratan mereka kembali berbuat syirik. Tetapi pada zaman sekarang orang melakukan syirik dalam setiap saat.

Dalam keadaan seperti di atas Allah membuka sebab untuk kembalinya kaum muslimin kepada Agama yang benar, bersih dari kesyirikan dan bid’ah.

Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Rasulullah dalam sabdanya:

« إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِيْنَهَا »

“Sesungguhnya Allah mengutus untuk umat ini pada setiap penghujung seratus tahun orang yang memperbaharui untuk umat ini agamanya.” (HR. Abu Daud no. 4291, Al Hakim no. 8592)

Pada abad (12 H / 17 M) lahirlah seorang pembaharu di negeri Nejd, yaitu: Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Dari Kabilah Bani Tamim.

Yang pernah mendapat pujian dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Bahwa mereka (yaitu Bani Tamim) adalah umatku yang terkuat dalam menentang Dajjal.” (HR. Bukhari no. 2405, Muslim no. 2525)

tepatnya tahun 1115 H di ‘Uyainah di salah satu perkampungan daerah Riyadh. Beliau lahir dalam lingkungan keluarga ulama, kakek dan bapak beliau merupakan ulama yang terkemuka di negeri Nejd, belum berumur sepuluh tahun beliau telah hafal al-Qur’an, ia memulai pertualangan ilmunya dari ayah kandungnya dan pamannya, dengan modal kecerdasan dan ditopang oleh semangat yang tinggi beliau berpetualang ke berbagai daerah tetangga untuk menuntut ilmu seperti daerah Basrah dan Hijaz, sebagaimana lazimnya kebiasaan para ulama dahulu yang mana mereka membekali diri mereka dengan ilmu yang matang sebelum turun ke medan dakwah.

Hal ini juga disebut oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitabnya Ushul Tsalatsah: “Ketahuilah semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya wajib atas kita untuk mengenal empat masalah; pertama Ilmu yaitu mengenal Allah, mengenal nabinya, mengenal agama Islam dengan dalil-dalil”. Kemudian beliau sebutkan dalil tentang pentingnya ilmu sebelum beramal dan berdakwah, beliau sebutkan ungkapan Imam Bukhari: “Bab berilmu sebelum berbicara dan beramal, dalilnya firman Allah yang berbunyi:

فَاعْلَمْ أَنَّهُ لا إِلَهَ إِلا اللَّهُ وَاسْتَغْفِرْ لِذَنْبِكَ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مُتَقَلَّبَكُمْ وَمَثْوَاكُمْ

“Ketahuilah sesungguhnya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan minta ampunlah atas dosamu.” Maka dalam ayat ini Allah memulai dengan perintah ilmu sebelum berbicara dan beramal”.

Setelah beliau kembali dari pertualangan ilmu, beliau mulai berdakwah di kampung Huraimilak di mana ayah kandung beliau menjadi Qadhi (hakim). Selain berdakwah, beliau tetap menimba ilmu dari ayah beliau sendiri, setelah ayah beliau meninggal tahun 1153, beliau semakin gencar mendakwahkan tauhid, ternyata kondisi dan situasi di Huraimilak kurang menguntungkan untuk dakwah, selanjut beliau berpindah ke ‘Uyainah, ternyata penguasa ‘Uyainah saat itu memberikan dukungan dan bantuan untuk dakwah yang beliau bawa, namun akhirnya penguasa ‘Uyainah mendapat tekanan dari berbagai pihak, akhirnya beliau berpindah lagi dari ‘Uyainah ke Dir’iyah, ternyata masyarakat Dir’iyah telah banyak mendengar tentang dakwah beliau melalui murid-murid beliau, termasuk sebagian di antara murid beliau keluarga penguasa Dir’iyah, akhirnya timbul inisiatif dari sebagian dari murid beliau untuk memberi tahu pemimpin Dir’yah tentang kedatangan beliau, maka dengan rendah hati Muhammad bin Saud sebagai pemimpin Dir’iyah waktu itu mendatangi tempat di mana Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menumpang, maka di situ terjalinlah perjanjian yang penuh berkah bahwa di antara keduanya berjanji akan bekerja sama dalam menegakkan agama Allah. Dengan mendengar adanya perjanjian tersebut mulailah musuh-musuh Aqidah kebakaran jenggot, sehingga mereka berusaha dengan berbagai dalih untuk menjatuhkan kekuasaan Muhammad bin Saud, dan menyiksa orang-orang yang pro terhadap dakwah tauhid.

Kepada Siapa Dituduhkan Gelar Wahabi Tersebut

Karena hari demi hari dakwah tauhid semakin tersebar mereka para musuh dakwah tidak mampu lagi untuk melawan dengan kekuatan, maka mereka berpindah arah dengan memfitnah dan menyebarkan isu-isu bohong supaya mendapat dukungan dari pihak lain untuk menghambat laju dakwah tauhid tersebut. Diantar fitnah yang tersebar adalah sebutan wahabi untuk orang yang mengajak kepada tauhid. Sebagaimana lazimnya setiap penyeru kepada kebenaran pasti akan menghadapi berbagai tantangan dan onak duri dalam menelapaki perjalanan dakwah.

Sebagaimana telah dijelaskan pula oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dalam kitab beliau Kasyfus Syubuhaat: “Ketahuilah olehmu, bahwa sesungguhnya di antara hikmah Allah subhaanahu wa ta’ala, tidak diutus seorang nabi pun dengan tauhid ini, melainkan Allah menjadikan baginya musuh-musuh, sebagaimana firman Allah:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِيٍّ عَدُوًّا شَيَاطِينَ الإنْسِ وَالْجِنِّ يُوحِي بَعْضُهُمْ إِلَى بَعْضٍ زُخْرُفَ الْقَوْلِ غُرُورًا

“Demikianlah Kami jadikan bagi setiap Nabi itu musuh (yaitu) setan dari jenis manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada bagian yang lain perkataan indah sebagai tipuan.” (QS. al-An-’am: 112)

Bila kita membaca sejarah para nabi tidak seorang pun di antara mereka yang tidak menghadapi tantangan dari kaumnya, bahkan di antara mereka ada yang dibunuh, termasuk Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam diusir dari tanah kelahirannya, beliau dituduh sebagai orang gila, sebagai tukang sihir dan penyair, begitu pula pera ulama yang mengajak kepada ajarannya dalam sepanjang masa. Ada yang dibunuh, dipenjarakan, disiksa, dan sebagainya. Atau dituduh dengan tuduhan yang bukan-bukan untuk memojokkan mereka di hadapan manusia, supaya orang lari dari kebenaran yang mereka serukan.

Hal ini pula yang dihadapi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, sebagaimana yang beliau ungkapkan dalam lanjutan surat beliau kepada penduduk Qashim: “Kemudian tidak tersembunyi lagi atas kalian, saya mendengar bahwa surat Sulaiman bin Suhaim (seorang penentang dakwah tauhid) telah sampai kepada kalian, lalu sebagian di antara kalian ada yang percaya terhadap tuduhan-tuduhan bohong yang ia tulis, yang mana saya sendiri tidak pernah mengucapkannya, bahkan tidak pernah terlintas dalam ingatanku, seperti tuduhannya:
  • Bahwa saya mengingkari kitab-kitab mazhab yang empat.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa manusia semenjak enam ratus tahun lalu sudah tidak lagi memiliki ilmu.
  • Bahwa saya mengaku sebagai mujtahid.
  • Bahwa saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat antara ulama adalah bencana.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang yang bertawassul dengan orang-orang saleh (yang masih hidup -ed).
  • Bahwa saya pernah berkata; jika saya mampu saya akan runtuhkan kubah yang ada di atas kuburan Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Bahwa saya mengharamkan ziarah kubur.
  • Bahwa saya mengkafirkan orang bersumpah dengan selain Allah.
  • Jawaban saya untuk tuduhan-tuduhan ini adalah: sesungguhnya ini semua adalah suatu kebohongan yang nyata. Lalu beliau tutup dengan firman Allah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman jika orang fasik datang kepada kamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kalian tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan.” (QS. al-Hujuraat: 6) (baca jawaban untuk berbagai tuduhan di atas dalam kitab-kitab berikut, 1. Mas’ud an-Nadawy, Muhammad bin Abdul Wahab Muslih Mazlum, 2. Abdul Aziz Abdul Lathif, Da’awy Munaawi-iin li Dakwah Muhammad bin Abdil Wahab, 3. Sholeh Fauzan, Min A’laam Al Mujaddidiin, dan kitab lainnya)

Pokok-Pokok Landasan Dakwah yang Dicap Sebagai Wahabi

Pokok landasan dakwah yang utama sekali beliau tegakkan adalah pemurnian ajaran tauhid dari berbagai campuran syirik dan bid’ah, terutama dalam mengkultuskan para wali, dan kuburan mereka, hal ini akan nampak jelas bagi orang yang membaca kitab-kitab beliau, begitu pula surat-surat beliau (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kita Majmu’ Muallafaat Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3).

Dalam sebuah surat beliau kepada penduduk Qashim, beliau paparkan aqidah beliau dengan jelas dan gamblang, ringkasannya sebagaimana berikut: “Saya bersaksi kepada Allah dan kepada para malaikat yang hadir di sampingku serta kepada anda semua:
  • Saya bersaksi bahwa saya berkeyakinan sesuai dengan keyakinan golongan yang selamat yaitu Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dari beriman kepada Allah dan kepada para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kepada hari berbangkit setelah mati, kepada takdir baik dan buruk.
  •  Termasuk dalam beriman kepada Allah adalah beriman dengan sifat-sifat-Nya yang terdapat dalam kitab-Nya dan sunnah rasul-Nya tanpa tahriif (mengubah pengertiannya) dan tidak pula ta’tiil (mengingkarinya). Saya berkeyakinan bahwa tiada satupun yang menyerupai-Nya. Dan Allah itu Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menyerupakan Allah dengan makhluk (Musabbihah atau Mujassimah))
  • Saya beriman bahwa Allah itu berbuat terhadap segala apa yang dikehendaki-Nya, tidak satupun yang terjadi kecuali atas kehendak-Nya, tiada satupun yang keluar dari kehendak-Nya.
  • Saya beriman dengan segala perkara yang diberitakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang apa yang akan terjadi setelah mati, saya beriman dengan azab dan nikmat kubur, tentang akan dipertemukannya kembali antara ruh dan jasad, kemudian manusia dibangkit menghadap Sang Pencipta sekalian alam, dalam keadaan tanpa sandal dan pakaian, serta dalam keadaan tidak bekhitan, matahari sangat dekat dengan mereka, lalu amalan manusia akan ditimbang, serta catatan amalan mereka akan diberikan kepada masing-masing mereka, sebagian mengambilnya dengan tangan kanan dan sebagian yang lain dengan tangan kiri.
  • Saya beriman dengan telaga Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
  • Saya beriman dengan shirat (jembatan) yang terbentang di atas neraka Jahanam, manusia melewatinya sesuai dengan amalan mereka masing-masing.
  • Saya beriman dengan syafa’at Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa Dia adalah orang pertama sekali memberi syafa’at, orang yang mengingkari syafa’at adalah termasuk pelaku bid’ah dan sesat. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam)
  • Saya beriman dengan surga dan neraka, dan keduanya telah ada sekarang, serta keduanya tidak akan sirna.
  • Saya beriman bahwa orang mukmin akan melihat Allah dalam surga kelak.
  • Saya beriman bahwa Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup segala nabi dan rasul, tidak sah iman seseorang sampai ia beriman dengan kenabiannya dan kerasulannya. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengaku sebagai nabi atau tidak memuliakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. bahkan beliau mengarang sebuah kitab tentang sejarah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan judul Mukhtashar sirah Ar Rasul, bukankah ini suatu bukti tentang kecintaan beliau kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.)
  • Saya mencintai para sahabat Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, begitu pula para keluarga beliau, saya memuji mereka, dan mendoakan semoga Allah meridhai mereka, saya menutup mulut dari membicarakan kejelekan dan perselisihan yang terjadi antara mereka.
  • Saya mengakui karamah para wali Allah, tetapi apa yang menjadi hak Allah tidak boleh diberikan kepada mereka, tidak boleh meminta kepada mereka sesuatu yang tidak mampu melakukannya kecuali Allah. (Dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang mengingkari karamah atau tidak menghormati para wali)
  • Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kalangan muslim yang melakukan dosa, dan tidak pula menguarkan mereka dari lingkaran Islam. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau mengkafirkan kaum muslimin, atau berfaham khawarij, baca juga Manhaj syeikh Muhammad bin Abdul Wahab fi masalah at takfiir, karangan Ahmad Ar Rudhaiman)
  • Saya berpandangan tentang wajibnya taat kepada para pemimpin kaum muslimin, baik yang berlaku adil maupun yang berbuat zalim, selama mereka tidak menyuruh kepada perbuatan maksiat. (dari ungkapan beliau ini terbantah tuduhan bohong bahwa beliau orang yang menganut faham khawarij (teroris))
  • Saya berpandangan tentang wajibnya menjauhi para pelaku bid’ah, sampai ia bertaubat kepada Allah, saya menilai mereka secara lahir, adapun amalan hati mereka saya serahkan kepada Allah.
  • Saya berkeyakinan bahwa iman itu terdiri dari perkataan dengan lidah, perbuatan dengan anggota tubuh dan pengakuan dengan hati, ia bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan.

Bukti Kebohongan Tuduhan Wahabi Tehadap Dakwah Ahlussunnah Wal Jama’ah

Dengan membandingkan antara tuduhan-tuduhan sebelumnya dengan aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang kita sebutkan di atas, tentu dengan sendirinya kita akan mengetahui kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut.

Tuduhan-tuduhan bohong tersebut disebar luaskan oleh musuh dakwah Ahluss sunnah ke berbagai negeri Islam, sampai pada masa sekarang ini, masih banyak orang tertipu dengan kebohongan tersebut. sekalipun telah terbukti kebohongannya, bahkan seluruh karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab membantah tuduhan tersebut.

Kita ambil contoh kecil saja dalam kitab beliau “Ushul Tsalatsah” kitab yang kecil sekali, tapi penuh dengan mutiara ilmu, beliau mulai dengan menyebutkan perkataan Imam Syafi’i, kemudian di pertengahannya beliau sebutkan perkataan Ibnu Katsir yang bermazhab syafi’i jika beliau tidak mencintai para imam mazhab yang empat atau hanya berpegang dengan mazhab Hambali saja, mana mungkin beliau akan menyebutkan perkataan mereka tersebut.

Bahkan beliau dalam salah satu surat beliau kepada salah seorang kepala suku di daerah Syam berkata: “Saya katakan kepada orang yang menentangku, sesungguhnya yang wajib atas manusia adalah mengikuti apa yang diwasiatkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka bacalah buku-buku yang terdapat pada kalian, jangan kalian ambil dari ucapanku sedikitpun, tetapi apabila kalian telah mengetahui perkataan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terdapat dalam kitab kalian tersebut maka ikutilah, sekalipun kebanyakan manusia menentangnya.” (lihat kumpulan surat-surat pribadi beliau dalam kitab Majmu’ Muallafaat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, jilid 3)

Dalam ungkapan beliau di atas jelas sekali bahwa beliau tidak mengajak manusia kepada pendapat beliau, tetapi mengajak untuk mengikuti ajaran Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Para ulama dari berbagai negeri Islam pun membantah tuduhan-tuduhan bohong tersebut setelah mereka melihat secara nyata dakwah yang beliau tegakkan, seperti dari daerah Yaman Imam Asy Syaukani dan Imam As Shan’any, dari India Syekh Mas’ud An-Nadawy, dari Irak Syaikh Muahmmad Syukri Al Alusy.

Syaikh Muhammad Syukri Al Alusy berkata setelah beliau menyebutkan berbagai tuduhan bohong yang disebar oleh musuh-musuh terhadap dakwah tauhid dan pengikutnya: “Seluruh tuduhan tersebut adalah kebohongan, fitnah dan dusta semata dari musuh-musuh mereka, dari golongan pelaku bid’ah dan kesesatan, bahkan kenyataannya seluruh perkataan dan perbuatan serta buku-buku mereka menyanggah tuduhan itu semua.” (al Alusy, Tarikh Nejd, hal: 40)

Begitu pula Syaikh Mas’ud An-Nadawy dari India berkata: “Sesungguhnya kebohongan yang amat nyata yang dituduhkan terhadap dakwah Syaikh Muhammad bin Abdu Wahhab adalah penamaannya dengan wahabi, tetapi orang-orang yang rakus berusaha mempolitisir nama tersebut sebagai agama di luar Islam, lalu Inggris dan turki serta Mesir bersatu untuk menjadikannya sebagai lambang yang menakutkan, yang mana setiap muncul kebangkitan Islam di berbagai negeri, lalu orang-orang Eropa melihat akan membahayakan mereka, mereka lalu menghubungkannya dengan wahabi, sekalipun keduanya saling bertentangan.” (Muhammad bin Abdul Wahab Mushlih Mazhluum, hal: 165)

Begitu pula Raja Abdul Aziz dalam sebuah pidato yang beliau sampaikan di kota Makkah di hadapan jamaah haji tgl 11 Mei 1929 M dengan judul “Inilah Aqidah Kami”: “Mereka menamakan kami sebagai orang-orang wahabi, mereka menamakan mazhab kami wahabi, dengan anggapan sebagai mazhab khusus, ini adalah kesalahan yang amat keji, muncul dari isu-isu bohong yang disebarkan oleh orang-orang yang mempunyai tujuan tertentu, dan kami bukanlah pengikut mazhab dan aqidah baru, Muhammad bin Abdul Wahab tidak membawa sesuatu yang baru, aqidah kami adalah aqidah salafus sholeh, yaitu yang terdapat dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, serta apa yang menjadi pegangan salafus sholeh. Kami memuliakan imam-imam yang empat, kami tidak membeda-bedakan antara imam-imam; Malik, Syafi’i , Ahmad dan Abu Hanifah, seluruh mereka adalah orang-orang yang dihormati dalam pandangan kami, sekalipun kami dalam masalah fikih berpegang dengan mazhab hambaly.” (al Wajiz fi Sirah Malik Abdul Aziz, hal: 216)

Dari sini terbukti lagi kebohongan dan propaganda yang dibuat oleh musuh Islam dan musuh dakwah Ahlussunnah bahwa teroris diciptakan oleh wahabi. Karena seluruh buku-buku aqidah yang menjadi pegangan di kampus-kampus tidak pernah luput dari membongkar kesesatan teroris (Khawarij dan Mu’tazilah). Begitu pula tuduhan bahwa Mereka tidak menghormati para wali Allah atau dianggap membikin mazhab yang kelima. Pada kenyataannya semua buku-buku yang dipelajari dalam seluruh jenjang pendidikan adalah buku-buku para wali Allah dari berbagai mazhab. Pembicara sebutkan di sini buku-buku yang menjadi panduan di Universitas Islam Madinah.
  • Untuk mata kuliah Aqidah: kitab “Syarah Aqidah Thawiyah” karangan Ibnu Abdil ‘iz Al Hanafi, “Fathul Majiid” karangan Abdurahman bin Hasan Al hambaly. Ditambah sebagai penunjang, “Al Ibaanah“ karangan Imam Abu Hasan Al Asy’ari, “Al Hujjah” karangan Al Ashfahany Asy Syafi’i, “Asy Syari’ah” karangan Al Ajurry, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Khuzaimah, Kitab “At Tauhid” karangan Ibnu Mandah, dll.
  • Untuk mata kuliyah Tafsir: Tafsir Ibnu Katsir Asy Syafi’i, Tafsir Asy Syaukany. Ditambah sebagai penunjang: Tafsir At Thobary, Tafsir Al Qurtuby Al Maliky, Tafsir Al Baghawy As Syafi’i, dan lainnya.
  • Untuk mata kuliyah Hadits: Kutub As Sittah beserta Syarahnya seperti: “Fathul Bary” karangan Ibnu Hajar Asy Syafi’i, “Syarah Shahih Muslim” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, dll.
  • Untuk mata kuliyah fikih: “Bidayatul Mujtahid” karangan Ibnu Rusy Al maliky, “Subulus Salam” karangan Ash Shan’any. Ditambah sebagai penunjang: “al Majmu’” karangan Imam An Nawawy Asy Syafi”i, kitab “Al Mughny” karangan Ibnu Qudamah Al Hambali, dll. Kalau ingin untuk melihat lebih dekat lagi tentang kitab-kitab yang menjadi panduan mahasiswa di Arab Saudi silakan berkunjung ke perpustakaan Universitas Islam Madinah atau perpustakaan mesjid Nabawi, di sana akan terbukti segala kebohongan dan propaganda yang dibikin oleh musuh Islam dan kelompok yang berseberangan dengan paham Ahlussunnah wal Jama’ah seperti tuduhan teroris dan wahabi.

Selanjutnya kami mengajak para hadirin semua apabila mendengar tuduhan jelek tentang dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, atau membaca buku yang menyebarkan tuduhan jelek tersebut, maka sebaiknya ia meneliti langsung dari buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab atau buku-buku ulama yang seaqidah dengannya, supaya ia mengetahui tentang kebohongan tuduhan-tuduhan tersebut, sebagaimana perintah Allah kepada kita:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman, bila seorang fasik datang kepadamu membawa sebuah berita maka telitilah, agar kamu tidak mencela suatu kaum dengan kebodohan, sehingga kamu menjadi menyesal terhadap apa yang kamu lakukan.”

Karena buku-buku Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab bisa didapatkan dengan sangat mudah terlebih-lebih pada musim haji dibagikan secara gratis, di situ akan terbukti bahwa beliau tidak mengajak kepada mazhab baru atau kepercayaan baru yang menyimpang dari pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah, namun semata-mata ia mengajak untuk beramal sesuai dengan kitab Allah dan sunnah Rasul-Nya, sesuai dengan mazhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah, meneladani Rasulullah dan para sahabatnya serta generasi terkemuka umat ini, serta menjauhi segala bentuk bid’ah dan khurafat.

Ringkasan Dan Penutup

Ringkasan:
  • Seorang da’i hendaklah membekali dirinya dengan ilmu yang cukup sebelum terjun ke medan dakwah.
  • Seorang da’i hendaklah memulai dakwah dari tauhid, bukan kepada politik, selama umat tidak beraqidah benar selama itu pula politik tidak akan stabil.
  • Seorang da’i hendaklah sabar dalam menghadapi berbagai rintangan dan tantang dalam menegakkan dakwah.
  • Seorang da’i yang ikhlas dalam dakwahnya harus yakin dengan pertolongan Allah, bahwa Allah pasti akan menolong orang yang menolong agama-Nya.
  • Tuduhan wahabi adalah tuduhan yang datang dari musuh dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, dengan tujuan untuk menghalangi orang dari mengikuti dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  • Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah sebagai pembawa aliran baru atau ajaran baru, tetapi seorang yang berpegang teguh dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
  • Perlunya ketelitian dalam membaca atau mendengar sebuah isu atau tuduhan jelek terhadap seseorang atau suatu kelompok, terutama merujuk pemikiran seseorang tersebut melalui tulisan atau karangannya sendiri untuk pembuktian berbagai tuduhan dan isu yang tersebar tersebut.

Penutup

Sebagai penutup kami mohon maaf atas segala kekurangan dan kekeliruan dalam penyampaian materi ini, semua itu adalah karena keterbatasan ilmu yang kami miliki, semoga apa yang kami sampaikan ini bermanfaat bagi kami sendiri dan bagi hadirin semua, semoga Allah memperlihatkan kepada kita yang benar itu adalah benar, kemudian menuntun kita untuk mengikuti kebenaran itu, dan memperlihatkan kepada kita yang salah itu adalah salah, dan menjauhkan kita dari mengikuti yang salah itu.

وصلى الله على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

سبحانك اللهم وبحمدك أشهد أن لا إله إلا أنت وأستغفرك وأتوب إليك.

*) Penulis adalah Rektor Sekolah Tinggi Dirasat Islamiyah Imam Syafii, Jember, Jawa Timur

Disampaikan dalam tabligh Akbar 21 Juli 2005 di kota Jeddah, Saudi Arabia

Oleh: Ustadz DR. Ali Musri SP
Artikel  http://muslim.or.id/manhaj/apa-itu-wahabi-1.html & http://muslim.or.id/manhaj/apa-itu-wahabi-2.html

Akidah Imam Abu Hanifah -rohimahulloh-.



Akidah Imam Empat Madzhab
Bismillahirrohmanirrohim… Segala puji bagi Alloh tuhan semesta alam, aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Alloh, aku (juga) bersaksi bahwa pimpinan kita, Muhammad, adalah seorang hamba dan rosul-Nya, penghulu para orang terdahulu dan orang yang datang kemudian. Ya Alloh, curahkanlah sholawat dan salam yang langgeng dan abadi kepada beliau, beserta para nabi dan rosul yang lainnya, serta keluarga, dan semua sahabatnya, Amin. Waba’du.
Akidahnya Imam empat: Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Ahmad -rohimahumulloh- adalah akidah yang satu, yakni akidah yang datang dari Alquran dan Sunnah Shohihah. Dan di sini telah kami kumpulkan banyak perkataan mereka yang gamblang dalam menjelaskan akidahnya, agar para pembaca yang budiman tahu, bahwa mereka itu sepakat dalam hal akidah (tauhid). Dan segala puji bagi Alloh yang telah memudahkan dan menolong kami dalam menyelesaikan tulisan ini, sekali lagi hanya dari Alloh semata keutamaan dan pemberian ini.
Biografi Imam Abu Hanifah -rohimahulloh-.
Beliau bernama: An-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi, At-Taimi dari hamba sahayanya, kunyah beliau: Abu Hanifah. Beliau berjuluk: Ahli fikihnya wilayah Irak, imamnya madzhab hanafi, dan salah satu dari empat imamnya Ahlussunnah.
Beliau lahir dan tumbuh dewasa di daerah Kufah. Ketika muda, beliau belajar fikih kepada Hammad bin Abu Sulaiman al-Asy’ari.
Beliau banyak mendengar dan meriwayatkan dari para ulama generasi tabi’in, seperti: Atho’ bin Abu Robah, Nafi’ budaknya Ibnu Umar, Asy-Sya’bi, az-Zuhri dan yang lainnya.
Banyak pula ulama yang meriwayatkan dari Imam Abu Hanifah, diantaranya: Hammad (anaknya), Zufar, Hudzail, Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, Abu Yusuf Al-Qodhi, dan yang lainnya.
Beliau adalah orang yang zuhud dan waro’. Yazid bin Hubairoh, yang merupakan walikota wilayah irak pada masa pemerintahan Marwan bin muhammad, menginginkan agar beliau mau menjadi qodhi, tapi beliau menolaknya. Begitu pula Al-Manshur Al-Abbasi menginginkan beliau menjadi qodhi setelah itu, tapi beliau menolaknya, beliau mengatakan: “Aku tidak cocok menjadi qodhi!” maka Al-mansur pun bersumpah agar beliau mau menerima jabatan itu, tapi Beliau balik bersumpah tidak akan menerimanya. Maka Al-manshur pun memenjarakannya hingga beliau wafat. Ada yang mengatakan dialah yang membunuh beliau dengan racun. Ada juga yang mengatakan beliau wafat ketika sedang sholat (semoga Alloh merahmati beliau).
Beliau adalah orang yang luas ilmunya dalam berbagai disiplin ilmu Islam, beliaulah yang banyak mengandaikan banyak kejadian, bagaimana bila benar-benar terjadi, lalu memberikan hukumnya dengan qiyas. Beliau juga mengembangkan ilmu fikih dengan banyak permasalahannya yang sangat luas.
Beliau termasuk orang yang super hati-hati dalam menerima hadits, sangat pemilih dengan hadits dan para perowinya, hal itu disebabkan banyaknya hadits-hadits palsu dan dhoif yang tersebar di negerinya pada masa hidupnya. Beliau wafat di Kota Bagdad, pada usianya yang ke-70 tahun. (Lihat biografi beliau dalam: Al-A’lam 9/4, Tarikh Baghdad 13/323-378, Wafayatul A’yan 5/405, Al-Mas’udi 3/304, Al-bidayah wan Nihayah 10/107, Tadzkirotul Huffazh 1/168, Al-Ibar 1/214, An-Nujumuz Zahiroh 2/12, Murujudz Dzahab 2/304, Al-Ma’arif 495, Da’irotul Ma’arif Islamiyah, biografi Abu Hanifah)
AKIDAH IMAM ABU HANIFAH -rohimahulloh-.
قال الإمام أبو حنيفة: لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين، وغضبه ورضاه صفتان من صفاته بلا كيف، وهو قول أهل السنة والجماعة، وهو يغضب ويرضى ولا يقال: غضبه عقوبته، ورضاه ثوابه. ونصفه كما وصف نفسه أحد صمد لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفواً أحد، حي قادر سميع بصير عالم، يد الله فوق أيديهم، ليست كأيدي خلقه، ووجهه ليس كوجوه خلقه
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Alloh ta’ala tidak boleh disifati dengan sifatnya para makhluk, sifat marah dan ridho adalah dua sifat dari banyak sifat-Nya dengan tanpa mempertanyakan bagaiamana wujudnya. Ini adalah perkataan Ahlussunnah waljama’ah, Dia itu bisa marah dan Dia juga bisa ridho. Tidak boleh dikatakan: bahwa marah-Nya adalah siksaan-Nya, dan ridho-Nya adalah pahala-Nya. Kita menyifati-Nya sebagaimana Dia menyifati diri-Nya, yang esa, yang semua membutuhkan-Nya, tidak melahirkan, tidak dilahirkan, dan tidak ada yang menyamai-Nya. Dia lah yang maha hidup, maha berkuasa, maha melihat, dan maha mengetahui. Tangan Alloh berada di atas tangan makhluk-Nya, tidak seperti tangan makhluk-Nya, dan wajah-Nya juga tidak seperti wajah-wajah makhluk-Nya”. (Al-Fikhul Absath, hal: 56)
قال الإمام أبو حنيفة: وله يد ووجه ونفس كما ذكره الله تعالى في القرآن، فما ذكره الله تعالى في القرآن، من ذكر الوجه واليد والنفس فهو له صفات بلا كيف، ولا يقال: إن يده قدرته أو نعمته؛ لأن فيه إبطالَ الصفة، وهو قول أهل القدر والاعتزال
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Alloh ta’ala memiliki tangan, wajah, dan dzat, sebagaimana Alloh menyebutnya dalam Alqur’an. Dan apa yang disebutkan Alloh dalam Alqur’an, seperti wajah, tangan, dan dzat, maka itu merupakan sifat bagi-Nya, dengan tanpa mempertanyakan bagaimana wujudnya. Tidak boleh dikatakan: bahwa tangan-Nya adalah kekuasaan-Nya, karena yang demikian itu termasuk menafikan sifat, dan itu merupakan perkataan kelompok qodariyah dan mu’tazilah…” (Al-Fikhul Akbar, hal: 302)
قال البزدوي: العلم نوعان علم التوحيد والصفات، وعلم الشرائع والأحكام. والأصل في النوع الأول هو التمسُّك بالكتاب والسُّنة ومجانبة الهوى والبدعة ولزوم طريق السنُّة والجماعة، وهو الذي عليه أدركنا مشايخنا وكان على ذلك سلفنا أبو حنيفة وأبو يوسف ومحمد وعامة أصحابهم. وقد صنف أبو حنيفة – رضي الله عنه – في ذلك كتاب الفقه الأكبر، وذكر فيه إثبات الصفات وإثبات تقدير الخير والشر من الله
Al-Bazdawi mengatakan: “Ilmu itu ada dua jenis: ilmu tauhid dan sifat, dan ilmu hukum dan syariat. Adapun jenis pertama, maka dasarnya adalah berpegang teguh dengan Alquran dan Assunnah, menjauhi hawa nafsu dan bid’ah, serta menetapi jalan Ahlussunnah waljama’ah. Itulah jalan yang ditempuh oleh para syeikh yang kami temui, dan itu pula jalannya Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, dan mayoritas sahabatnya. Dan Imam Abu Hanifah -semoga Alloh meridhoinya- telah mengarang kitab fikih akbar, dan didalamnya menyebutkan penetapan sifat dan takdir dari Alloh, baik takdir yang baik maupun takdir yang buruk…”. (ushul bazdawi, hal: 3. Kasyful Asror 1/7-8)
قال الإمام أبو حنيفة: لا ينبغي لأحد أن ينطق في ذات الله بشيء، بل يصفه بما وصف به نفسه، ولا يقول فيه برأيه شيئاً تبارك الله تعالى ربّ العالمين
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Tidak pantas bagi siapapun, mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan dzat Alloh. Tapi (yang benar adalah) menyifati-Nya dengan sifat yang diterangkan oleh-Nya, dan tidak mengatakan apapun di dalamnya dengan pendapatnya, maha suci dan maha tinggi Alloh, tuhan semesta alam”. (syarah Akidah thohawiyah 2/427, dan jala’ul ainain, hal: 368 )
سئل الإمام أبو حنيفة عن النزول الإلهي، فقال: ينزل بلا كيف
Imam Abu Hanifah pernah ditanya tentang turunnya Alloh (ke langit dunia), maka beliau menjawab: “Dia turun, entah bagaimana wujudnya”. (akidah salaf ash-habil hadits, hal: 42, Al-Asma’ was shifat lil baihaqi, hal: 456, Syarhut thohawiyah, hal: 245, Syarhul fiqhil Akbar lil qori, hal: 60)
قال الملاَّ علي القاري بعد ذكره قول الإمام مالك: “الاستواء معلوم والكيف مجهول…”: اختاره إمامنا الأعظم – أي أبو حنيفة – وكذا كل ما ورد من الآيات والأحاديث المتشابهات من ذكر اليد والعين والوجه ونحوها من الصفات. فمعاني الصفات كلها معلومة وأما كيفيتها فغير معقولة؛ إذْ تَعقُّل الكيف فرع العلم لكيفية الذات وكنهها. فإذا كان ذلك غير معلوم؛ فكيف يعقل لهم كيفية الصفات. والعصمة النَّافعة من هذا الباب أن يصف الله بما وصف به نفسه، ووصفه به رسوله من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل، بل يثبت له الأسماء والصفات وينفي عنه مشابهة المخلوقات، فيكون إثباتك منزهاً عن التشبيه، ونفيك منزَّهاً عن التعطيل. فمن نفى حقيقة الاستواء فهو معطل ومن شبَّهه باستواء المخلوقات على المخلوق فهو مشبِّه، ومن قال استواء ليس كمثله شيء فهو الموحِّد المنزه
Setelah menyebutkan perkataan Imam Malik: “Sifat istiwa’ itu diketahui (maknanya), sedangkan bagaimana bentuknya itu tidak diketahui…”, Al-Mulla Ali Al-Qori mengatakan: “Inilah yang dipilih oleh Imam kami yang mulia -yakni Abu Hanifah-, begitu pula semua sifat yang datang dari banyak ayat maupun hadits mutasyabihat (dari sisi hakekatnya), yang menyebutkan sifat tangan, mata, wajah, dan banyak sifat yang sejenisnya. Semua makna sifat-sifat itu bisa dipahami, adapun bagaiamana bentuknya maka itu tidak bisa dinalar, karena memikirkan bagaimana bentuknya adalah cabang dari mengetahui bagaimana bentuk dzat dan hakikatnya. Dan jika hal itu tidak diketahui, maka bagaiamana mereka bisa memikirkan bagaimana bentuk sifat-Nya?!. Pintu keselamatan yang sangat bermanfaat dalam bab ini adalah, dengan menyifati Alloh dengan sifat yang diterangkan oleh-Nya dan Rosul-Nya, dengan tanpa merubah dan menafikannya, serta tanpa mempertanyakan bagaimana wujudnya dan menyerupakannya. Tapi (yang benar adalah) dengan menetapkan bagi-Nya nama-nama dan sifat-sifat, dan menafikan dari-Nya penyerupaan-Nya dengan para makhluknya. Sehingga penetapanmu bebas dari penyerupaan, dan penafianmu bebas dari penghapusan sifat. Maka barangsiapa menafikan hakekat istiwa’ maka ia menjadi orang menafikan sifat-Nya, sedang barangsiapa menyerupakan istiwa’nya dengan istiwa’nya para makhluk, maka ia menjadi orang yang menyerupakan sifat-Nya (dengan sifatnya para makhluk), adapun barangsiapa yang mengatakan: istiwa’-Nya itu tidak seperti istiwa’nya yang lain, maka dialah orang yang mensucikan dan mentauhidkannya”. (Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih 8/251)
قال الألوسي الحنفيُّ: أنت تعلم أن طريقة كثير من العلماء الأعلام وأساطين الإسلام الإمساك عن التأويل مطلقاً مع نفي التَّشبيه والتجسيم. منهم الإمام أبو حنيفة، والإمام مالك، والإمام أحمد، والإمام الشافعيَّ، ومحمد بن الحسن، وسعد بن معاذ المروزيُّ، وعبد الله بن المبارك، وأبو معاذ خالد بن سليمان صاحب سفيان الثوري، وإسحاق بن راهُويه، ومحمد بن إسماعيل البخاري، والترمذي، وأبو داود السجستاني
Imam Al-Alusi Al-Hanafi mengatakan: “Kamu tahu bahwa jalannya banyak ulama besar dan para pengabdi islam adalah sama sekali tidak menta’wil sifat Alloh, sekaligus menafikan penyerupaan dan penjasmanian, diantara para ulama besar itu adalah: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, Imam Syafi’i, Muhammad bin Hasan, Sa’d bin Mu’adz al-marwazi, Abdulloh bin Mubarok, Abu Mu’adz Kholid bin Sulaiman (sahabatnya Sufyan Ats-Tsauri), Ishak bin Rohuyah, Imam Bukhori, Imam At-Tirmidzy, dan Imam Abu Dawud As-Sijistani…” (Ruhul Ma’ani, 2/456)
قال الإمام أبو حنيفة: ولا يشبه شيئاً من الأشياء من خلقه، ولا يشبهه شيء من خلقه، لم يزل ولا يزال بأسمائه وصفاته
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Dia sama sekali tidak menyerupai makhluknya, sebaliknya tidak ada sesuatupun dari makhluknya yang menyerupainya, Dia tetap dan akan terus dengan nama-nama dan sifat-sifatNya…” (Al-Fikhul Akbar, hal: 301)
قال الإمام أبو حنيفة: وصفاته بخلاف صفات المخلوقين يعلم لا كعلمنا، ويقدر لا كقدرتنا، ويرى لا كرؤيتنا، ويسمع لا كسمعنا، ويتكلَّم لا ككلامنا
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Sifat-sifat Alloh itu tidak seperti sifat-sifatnya para makhluk, Dia mengetahui tapi tidak seperti pengetahuan kita, Dia berkuasa tapi tidak seperti kekuasaan kita, Dia melihat tapi tidak seperti penglihatan kita, Dia mendengar tapi tidak seperti pendengaran kita, dan Dia berbicara tapi tidak seperti berbicaranya kita…” (Al-Fikhul Akbar, hal: 302)
قال الإمام أبو حنيفة: لا يوصف الله تعالى بصفات المخلوقين
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Alloh ta’ala tidak boleh disifati dengan sifat-sifatnya para makhluk. (Al-Fikhul Absath, hal: 56)
قال الإمام أبو حنيفة: وصفاته الذاتية والفعلية: أما الذاتية فالحياة والقدرة والعلم والكلام والسمع والبصر والإرادة، وأما الفعلية فالتخليق والترزيق والإنشاء والإبداع والصنع وغير ذلك من صفات الفعل لم يزل ولا يزال بأسمائه وصفاته
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Sifat-sifat Alloh itu (ada dua): Dzatiyah dan Fi’liyah. Contoh sifat dzatiyah, seperti: memiliki kehidupan, kekuasaan, perkataan, pendengaran, penglihatan, dan kehendak. Adapun contoh sifat fi’liyah, seperti: Menciptakan, memberi rizki, menumbuhkan, memulai, membuat, dan sifat-sifat pekerjaan-Nya yang lainnya. Dia tetap dan akan terus dengan nama-nama dan sifat-sifatNya”. (Al-Fikhul Akbar, hal: 301)
قال الإمام أبو حنيفة: ولم يزل فاعلاً بفعله، والفعل صفة في الأزل، والفاعل هو الله تعالى، والفعل صفة في الأزل والمفعول مخلوق وفعل الله تعالى غير مخلوق
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Alloh akan terus dengan perbuatan-Nya. Perbuatan-Nya adalah sifat azali, dan pelakunya adalah Alloh ta’ala. Perbuatan-Nya adalah sifat azali, dan obyek perbuatannya itu makhluk, sedang perbuatan Alloh ta’ala, itu bukan makhluk”. (Al-Fikhul Akbar, hal: 301)
قال الإمام أبو حنيفة: من قال لا أعرف ربي في السماء أم في الأرض فقد كفر، وكذا من قال إنه على العرش، ولا أدري العرش أفي السماء أم في الأرض
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Barangsiapa mengatakan: aku tidak tahu Tuhanku, apa Dia di langit atau di bumi, maka ia telah kafir! Begitu pula orang yang mengatakan: Sesungguhnya Dia di atas Arsy, tapi aku tidak tahu Arsy, apakah di langit atau di bumi?” (Al-Fikhul Absath, hal: 49. Majmu’ fatawa Ibnu Taimiyah 5/48. Ijtima’ juyusy islamiyah, hal: 139. Al-Uluw lidz Dzahabi, hal: 101-102. Al-Uluw libni Qudamah, hal: 116. Syarah thohawiyah libni Abil Izz, hal: 301)
قال الإمام أبو حنيفة للمرأة التي سألته أين إلهك الذي تعبده؟ قال: إن الله سبحانه وتعالى في السماء دون الأرض، فقال رجل: أرأيت قول الله تعالى: {وَهُوَ مَعَكُمْ} قال: هو كما تكتب للرجل إني معك وأنت غائب عنه
Ada wanita bertanya kepada Imam Abu Hanifah: “Dimana tuhanmu yang kau sembah itu?”. Beliau menjawab: “Sesungguhnya Alloh subhanahu wata’ala di atas langit, bukan di bumi”. Lalu ada seorang lelaki mengatakan: “Bukankah kau tahu firman Alloh ta’ala: Dia (Alloh) itu bersama kalian?!” (surat Al-Hadid:4). Maka beliau mengatakan: “Itu seperti kamu menulis surat kepada orang lain: sungguh aku bersamamu, padahal kamu tidak bersamanya”. (Al-Asma’ was Shifat, hal: 429)
قال الإمام أبو حنيفة: والقرآن غير مخلوق
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Alqur’an itu bukan makhluk”. (Al-Fikhul Akbar, hal: 301)
قال الإمام أبو حنيفة: ونقر بأن القرآن كلام الله تعالى غير مخلوق
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Kami mengikrarkan bahwa Alqur’an itu kalamulloh, bukan makhluk. (al-Jawahirul Manfiyah fi syarhi washiyatil Imam, hal: 10)
قال الإمام أبو حنيفة: ونقر بأن الله تعالى على العرش استوى من غير أن يكون له حاجة
Imam Abu Hanifah mengatakan: “Kami mengikrarkan bahwa Alloh ta’ala berada di atas Arsy, dan Dia tidak membutuhkannya. (Syarhul Washiyah, hal: 10) (Bersambung… Akidah Imam Malik -rohimahulloh-)
sumber: http://addariny.wordpress.com/2009/10/24/akidah-imam-abu-hanifah-rohimahulloh/

Ketahuilah, Tidak Ada Bid’ah Hasanah!!



Pendapat yang mengatakan adanya bid’ah hasanah (yang baik) dalam Islam termasuk fitnah dan musibah terbesar dari berbagai macam fitnah dan musibah yang menimpa ummat ini. Bagaimana tidak, perkataan ini pada akhirnya akan menghalalkan semua bentuk bid’ah dalam agama yang pada gilirannya akan merubah syari’at-syari’at agama AllahSubhanahu wa Ta’ala yang telah dibakukan tatkala Dia mewafatkan Nabi-Nya Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
Yang lebih celaka lagi, fitnah ini telah memakan banyak korban tanpa pandang bulu, mulai dari orang awwam yang tidak paham tentang agama sampai seorang yang dianggap tokoh agama yang telah meraih berbagai macam gelar –baik yang resmi maupun yang tidak- dalam ilmu agama Islam, semuanya berpendapat akan adanya bid’ah yang baik dalam Islam. Maka betapa buruknya nasib umat ini bila orang-orang yang membimbing mereka, yang mereka anggap tokoh agama berpendapat dengan pendapat ‘aneh’ seperti ini, inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.
A. Dalil-Dalil Tentang Buruk dan Tercelanya Semua Bentuk Bid’ah Tanpa Terkecuali.
Berikut beberapa dalil sam’iy (Al-Kitab dan AS-Sunnah) dan dalil akal yang menunjukkan akan jelek, tercela dan tertolaknya semua bentuk bid’ah :
[1.] Hadits Jabir riwayat Muslim :
وَشَرُّ الْأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dan setiap bid’ah adalah sesat”.
[2.] Hadits ‘Irbadh bin Sariyah :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
“Dan hati-hati kalian dari perkara yang diada-adakan karena setiap yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah kesesatan”. (HR. Ashhabus Sunan kecuali An-Nasa`i)
Berkata Imam Ibnu Rajab rahimahullah dalam Jami’ul ‘Ulum wal Hikam : “Maka sabda beliau “semua bid’ah adalah kesesatan”, termasuk dari jawami’ul kalim yang tidak ada sesuatupun (bid’ah) yang terkecualikan darinya, dan hadits ini merupakan pokok yang sangat agung dalam agama”.
Dan berkata Al-Imam Asy-Syathiby rahimahullah dalam Al-I’tishom (1/187), “Sesungguhnya dalil-dalil –bersamaan dengan banyaknya jumlahnya- datang secara mutlak dan umum, tidak ada sedikitpun perkecualian padanya selama-lamanya, dan tidaklah datang dalam dalil-dalil tersebut satu lafadzpun yang mengharuskan adanya di antara bid’ah-bid’ah itu yang merupakan petunjuk (hasanah), dan tidak ada dalam dalil-dalil tersebut penyebutan “semua bid’ah adalah kesesatan kecuali bid’ah ini, bid’ah ini, …”, dan tidak ada sedikitpun dari dalil-dalil tersebut yang menunjukan akan makna-makna ini (pengecualian)”.
[3.] Hadits ‘A`isyah radhiallahu ‘anha:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ
“Siapa saja yang mengadakan perkara baru dalam urusan kami ini apa-apa yang bukan darinya maka dia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Aisyah)
Berkata Imam Asy-Syaukany dalam Nailul Author (2/69) : “Hadits ini termasuk dari kaidah-kaidah agama karena masuk didalamnya hukum-hukum tanpa ada pengecualian. Betapa jelas dan betapa menunjukkan akan batilnya pendapat sebagian fuqoha` (para ahli fiqhi) yang membagi bid’ah menjadi beberapa jenis dan mengkhususkan tertolaknya bid’ah hanya pada sebagian bentuknya tanpa ada dalil naql (Al-Kitab dan As-Sunnah) yang mengkhususkannya dan tidak pula dalil akal”.
[4.] Ijma’ para ulama Salaf dari kalangan Shahabat, tabi’in dan para pengikut mereka dengan baik akan tercela dan jeleknya semua bid’ah serta wajibnya memperingatkan kaum muslimin darinya dan dari para pelakunya.
B. Penyebutan Syubhat-Syubhat Orang Yang Berpendapat Akan Adanya Bid’ah Hasanah Dalam Islam Beserta Bantahannya.
Di sini saya akan menyebutkan tujuh syubhat terbesar yang biasa di gembar-gemborkan oleh orang-orang yang menyatakan adanya bid’ah hasanah dalam Islam, yang hakikat dari semua syubhat mereka adalah lebih lemah dari sarang laba-laba karena syubhat-syubhat ini tidak lepas dari dua keadaan: Apakah dalilnya shohih tapi salah memahami ataukah sekedar perkataan para ulama yang telah diketahui bersama bahwa perkataan mereka bukanlah hujjah ketika menyelisihi dalil. Berikut penyebutan syubhat-syubhat mereka :
1. Surah Al-Hadid ayat 27 :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ فَمَا رَعَوْهَا حَقَّ رِعَايَتِهَا
“Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya”.
Bantahan : Firman-Nya “tetapi untuk mencari keridhaan Allah” ada dua kemungkinan :
[1.] Bila kembalinya kepada firman-Nya “Dan mereka mengada-adakanrahbaniyyah”, maka ini berarti celaan buat mereka karena mereka berbuat bid’ah dan memunculkan suatu peribadatan yang tidak pernah diwajibkan oleh AllahSubhanahu wa Ta’ala atas mereka, kemudian bersamaan dengan itu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya.
[2.] Bila kembalinya kepada firman-Nya “padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka”, maka menunjukkan bahwa mereka memunculkan suatu peribadatan baru yang disetujui oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala atas mereka. Akan tetapi ayat ini bercerita tentang syari’at umat sebelum kita (Nashara) dan syari’at umat sebelum kita –menurut pendapat yang paling kuat- bukanlah menjadi syari’at kita jika bertentangan dengan dalil yang datang dalam syari’at kita. Dan telah berlalu dalil-dalil yang sangat banyak akan larangan dan ancaman berbuat bid’ah dalam agama kita dan bahwa semua bentuk bid’ah adalah tertolak.
2. Hadits Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam bersabda :
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang baik maka baginya pahalanya dan pahala semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari pahala mereka sedikitpun, dan barangsiapa yang membuat sunnah dalam Islam sunnah yang jelek maka atasnya dosanya dan dosa semua orang yang mengamalkannya setelahnya tanpa mengurangi dari dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)
Dari hadits di atas mereka mengeluarkan pendalilan, kalau begitu bid’ah –sebagaimana sunnah- juga terbagi menjadi dua ; ada yang baik dan ada yang jelek.
Bantahan:
[1.] Sesungguhnya makna sabda beliau “Barangsiapa yang membuat sunnah” adalah “barangsiapa yang mengamalkan sunnah” bukan maknanya “barangsiapa yang membuat syari’at (sunnah) yang baru”, hal ini sebagaimana ditunjukkan olehsababul wurud (sebab terucapkannya) hadits ini dalam riwayat Muslim (no. 1017), yang ringkasnya : Bahwa sekelompok orang dari Bani Mudhor datang ke Medinah dan nampak dari kondisi mereka kemiskinan dan kesusahan, lalu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan motovasi kepada para shahabat untuk bersedekah. Maka datanglah seorang lelaki dari Al-Anshor dengan membawa makanan yang hampir-hampir tangannya tidak mampu untuk mengangkatnya, setelah itu beruntunlah para shahabat yang lain mengikutinya juga untuk memberikan sedekah lalu beliaupun mengucapkan hadits di atas. Maka dari kisah ini jelas menunjukkan bahwa yang diinginkan dalam hadits adalah “Barangsiapa yang beramal dengan amalan yang tsabit dari sunnah NabiShollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam …”, karena sedekah bukanlah perkara bid’ah akan tetapi sunnah dari sunnah beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam.
[2.] Beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mensifati “sunnah” dalam hadits ini dengan “yang baik” dan “yang jelek”, dan sifat seperti ini (baik dan jelek) tidak mungkin diketahui kecuali dari sisi syari’at. Maka hal ini mengharuskan bahwa kata “sunnah” dalam hadits maksudnya adalah amalan yang punya asal dari sisi syari’at, apakah baik ataupun buruk, sedangkan bid’ah adalah amalan yang sama sekali tidak memiliki asal dalam syari’at.
[3.] Tidak dinukil dari seorangpun dari kalangan para ulama Salaf yang menafsirkan sunnah yang hasanah dalam hadits ini adalah bid’ah yang dimunculkan oleh manusia.
3. Hadits ‘Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam –menurut sangkaan mereka- bersabda :
فَمَا رَأَى الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ وَمَا رَأَوْا سَيِّئًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ سَيِّئٌ
“Maka perkara apa saja yang kaum muslimin menganggapnya baik maka itu juga baik di sisi Allah dan perkara apa saja yang mereka anggap jelek maka itu jelek di sisi Allah”. Mereka mengatakan : “Maka bila suatu bid’ah dianggap baik oleh kaum muslimin di zaman ini maka berarti bid’ah itu baik juga di sisi Allah”.
Bantahan:
[1.] Hadits ini tidak shohih secara marfu’ dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, akan tetapi yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Berikut perkataan sebagian ulama tentang hal ini : ·
Berkata Ibnul Qoyyim rahimahullah dalam kitab Al-Farusiah (hal. 167) : “Sesungguhnya atsar ini bukan dari sabda Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, dan tidak ada seorangpun yang menjadikan perkataan ini sebagai sabda Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam kecuali orang yang tidak memiliki ilmu tentang hadits, yang benarnya perkataan ini hanya tsabit dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”. ·
Berkata Ibnu ‘Abdil Hadi sebagaimana dalam Kasyful Khofa` (2/245) : “Diriwayatkan secara marfu’ dari hadits Anas dengan sanad yang saqit(jatuh/sangat lemah) dan yang benarnya ini adalah mauquf dari perkataan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu”.
[2.] Yang diinginkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu dengan perkataan beliau “kaum muslimin” dalam hadits ini adalah mereka para sahabat radhiallahu ‘anhum, karena “Al” dalam kata “al-muslimun” hadits ini bermakna lil ‘ahd adz-dzihni (yang langsung terpahami oleh fikiran ketika membaca hadits ini), sehingga makna haditsnya adalah “Perkara apa saja yang kaum muslimin yang ada di zaman itu …”. Hal ini ditunjukkan oleh potongan awal hadits ini :
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat ke hati para hamba-Nya dan Dia mendapati hati Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam adalah sebaik-baik di antara hati-hati para hamba maka Diapun memilihnya untuk diriNya dan mengutusnya dengan risalahNya. Kemudian Allah melihat lagi ke hati para hamba setelah hati Muhammad dan Dia mendapati hati para shahabat adalah sebaik-baik hati para hamba maka Diapun menjadikan mereka sebagai pembantu-pembantu NabiNya yang mereka itu berperang dalam agamaNya. Maka apa-apa yang dianggap baik oleh kaum muslimin maka hal itu baik di sisi Allah dan apa-apa yang jelek menurut kaum muslimin maka hal itu jelek di sisi Allah”. Ini menunjukkan bahwa kaum muslimin yang diinginkan di akhir hadits adalah mereka yang disebutkan di awal hadits.
[3.] Bagaimana bisa mereka berdalil dengan perkataan shahabat yang mulia ini untuk menganggap suatu bid’ah, padahal beliau radhiallahu ‘anhu adalah termasuk dari para shahabat yang paling keras melarang dan mentahdzir dari semua bentuk bid’ah?!, dan telah berlalu sebagian dari perkataan beliauradhiallahu ‘anhu.
[4.] Kalau hadits ini diterima dan maknanya seperti apa yang hawa nafsu kalian inginkan, maka ini akan membuka pintu yang sangat berbahaya untuk berubahnya agama. Karena setiap pelaku bid’ah akan bersegera membuat bid’ah yang bentuknya disukai dan sesuai dengan selera manusia, dan ketika dilarang diapun berdalilkan dengan hadits di atas, Wallahul musta’an.
4. Dalil mereka selanjutnya adalah perkataan ‘Umar bin Khoththob radhiallahu ‘anhu yang masyhur tentang sholat Tarwih secara berjama’ah di malam bulan Ramadhan : نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”. (HR. Al-Bukhari)
Mereka berkata : “Kalau begitu ada bid’ah yang baik dalam Islam”.
Bantahan:
[1.] Perbuatan ‘Umar radhiallahu ‘anhu dengan cara mengumpulkan manusia untuk melaksanakan Tarwih dengan dipimpin oleh imam bukanlah bid’ah, akan tetapi sebagai bentuk menampakkan dan menghidupkan sunnah. Karena Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah melaksanakan Tarwih ini dengan mengimami manusia pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, tapi tatkala banyak manusia yang ikut sholat di belakang beliau, beliaupun meninggalkan pelaksanaannya karena takut turun wahyu yang mewajibkan sholat Tarwih sehingga akan menyusahkan umatnya sebagaimana yang disebutkan kisahnya oleh Imam Al-Buhkari dalam Shohihnya (no. 1129).
Maka tatkala Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan hilang kemungkinan sholat Tarwih menjadi wajib dengan terputusnya wahyu sehingga sholat Tarwih ini tetap pada hukum asalnya yaitu sunnah, maka ‘Umar radhiallahu ‘anhu lalu mengumpulkan manusia untuk melaksanakan sholat Tarwih secara berjama’ah.
[2.] Sesungguhnya ‘Umar radhiallahu ‘anhu tidak memaksudkan dengan perkataan beliau ini akan adanya bid’ah yang baik, karena yang beliau inginkan dengan “bid’ah” di sini adalah makna secara bahasa bukan makna secara syari’at, dan ini beliau katakan karena melihat keadaan zhohir dari sholat tarwih tersebut yaitu Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam meninggalkan pelaksanaan sholat tarwih setelah sebelumnya beliau melaksanakannya karena takut akan diwajibkannya sholat Tarwih ini atas umatnya.
Kalau ada yang bertanya : “Kalau memang beliau Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam tinggalkan karena takut diwajibkan, lantas kenapa Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak melakukan apa yang dilakukan ‘Umar radhiallahu ‘anhu, padahal kemungkinan jadi wajibnya sholat Tarwih juga telah terputus di zaman Abu Bakarradhiallahu ‘anhu dengan wafatnya Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam?”. Maka kami jawab : “Tidak adanya pelaksanaan Tarwih berjama’ah di zaman Abu Bakar radhiallahu ‘anhu tidak keluar dari dua alasan berikut :
[a.] Karena beliau radhiallahu ‘anhu berpendapat bahwa sholatnya manusia di akhir malam dengan keadaan mereka ketika itu lebih afdhol daripada mengumpulkan mereka di belakang satu imam (berjama’ah) di awal malam, ini disebutkan oleh Imam Ath-Thurthusy rahimahullah.
[b.] Karena sempitnya masa pemerintahan beliau (hanya 2 tahun) untuk melihat kepada perkara furu’ (cabang) seperti ini, bersamaan sibuknya beliau mengurus masalah banyaknya orang yang murtad dan ingin menyerang Medinah ketika NabiShollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam wafat dan masalah-masalah yang lain yang lebih penting dan lebih darurat dilaksanakan dibandingkan sholat tarwih, ini disebutkan oleh Asy-Syathiby rahimahullah.
Maka tatkala sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh tidak pernah dilakukan di zaman Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam, tidak pula di zaman Abu Bakarradhiallahu ‘anhu dan tidak pula di awal pemerintahan ‘Umar radhiallahu ‘anhu,maka sholat Tarwih dengan model seperti ini (berjama’ah satu bulan penuh) dianggap bid’ah tapi dari sisi bahasa, yakni tidak ada contoh yang mendahuluinya.
Adapun kalau dikatakan bid’ah secara syari’at maka tidak, karena sholat Tarwih dengan model seperti ini mempunyai asal landasan dalam syari’at yaitu beliauShollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam pernah sholat Tarwih secara berjama’ah pada malam 23, 25 dan 27 Ramadhan, dan beliau meninggalkannya hanya karena takut akan diwajibkan atas umatnya, bukan karena alasan yang lain, Wallahu a’lam. ·
Berkata Imam Asy-Syathiby dalam Al-I’tishom (1/250) : “Maka siapa yang menamakannya (sholat Tarwih berjama’ah satu bulan penuh) sebagai bid’ah karena dilihat dari sisi ini (yakni tidak pernah dilakukan oleh Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam walaupun memiliki asal dalam syari’at) maka tidak ada paksaan dalam masalah penamaan. Akan tetapi dalam keadaan seperti itu, maka tidak boleh berdalilkan dengannya (perkataan ‘Umar ini) akan bolehnya berbuat bid’ah dengan makna versi sang pembicara (yakni ‘Umar radhiallahu ‘anhu), karena ini adalah suatu bentuk pemalingan makna perkataan dari tempat sebenarnya”. ·
Berkata Syaikhul Islam rahimahullah dalam Al-Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 276 –Darul Fikr) : “Dan yang paling banyak (didengang-dengungkan) dalam masalah ini adalah kisah penamaan ‘Umar radhiallahu ‘anhu terhadap sholat Tarwih bahwa itu adalah bid’ah bersamaan dengan baiknya amalan tersebut. Ini adalah penamaan secara bahasa bukan penamaan secara syari’at, hal itu dikarenakan bid’ah secara bahasa adalah mencakup semua perkara yang diperbuat pertama kali dan tidak ada contoh yang mendahuluinya sedangkan bid’ah secara syari’at adalah semua amalan yang tidak ditunjukkan oleh dalil syar’iy. Maka jika Rasulullah Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam memberikan pernyataan yang beliau telah menunjukkan akan sunnahnya atau wajibnya suatu amalan setelah wafatnya beliau atau ada dalil yang menunjukkannya secara mutlak dan amalan tersebut tidak pernah diamalkan kecuali setelah wafatnya beliau, seperti pengadaan buku sedekah yang dikeluarkan oleh Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, maka jika seseorang mengamalkan amalan tersebut setelah wafatnya beliau maka syah kalau dikatakan bid’ah tapi secara bahasa karena itu adalah amalan yang belum pernah dilakukan”.
[3.] Sesungguhnya para shahabat Nabi Shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallamdan para ulama salaf setelah mereka telah bersepakat menerima dan mengamalkan apa yang dilakukan oleh ‘Umar radhiallahu ‘anhu dan tidak pernah dinukil dari seorangpun di antara mereka ada yang menyelisihinya. Ini artinya perbuatan beliau adalah kebenaran dan termasuk syari’at, karena RasulullahShollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam telah menegaskan :
لَنْ تَجْتَمِعَ أُمَّتِيْ عَلَى ضَلاَلَةٍ
“Ummatku tidak akan bersepakat di atas suatu kesesatan”. (HR. At-Tirmizi)
Dan masih ada beberapa dalil yang lain yang tidak kami sebutkan di sini karena dalil-dalil tersebut hanyalah berupa perkataan dan ijtihad seorang ulama, yang kalaupun dianggap bahwa para ulama tersebut menyatakan seperti apa yang mereka katakan berupa adanya bid’ah yang baik dalam Islam, maka ucapan dan ijtihad mereka harus dibuang jauh-jauh karena menyelisihi hadits-hadits NabiShollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallamwallahu A’lam.
Kesimpulan dari masalah ini adalah bahwa setiap perkara yang dianggap oleh sebagian ulama ataupun orang-orang yang jahil bahwa itu adalah bid’ah hasanah maka perkara tersebut tidak lepas dari dua keadaan :
1. Perkara itu bukanlah suatu bid’ah akan tetapi disangka bid’ah.
2. Perkara itu adalah bid’ah dan kesesatan akan tetapi dia tidak mengetahui akan kesesatan dan kejelekannya.
{Lihat : Al-Luma’ fir Roddi ‘ala Muhassinil Bida’ (hal. 8-54), Al-I’tishom(1/187-188 dan 228-270), Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah (1/106-117),Iqthidho` Ash-Shirothol Mustaqim (hal. 270-278), Al-Hatstsu ‘ala Ittiba’is Sunnah (hal. 42-44), dan Tuhfatul Murid Syarh Al-Qaulul Mufid(hal. 133-142)}
[Diringkas dari buku Studi Kritis Perayaan Maulid Nabi bab ketiga, karya Abu Muawiah Hammad -hafizhahullah-]
Dicopy dari: http://www.facebook.com/note.php?note_id=459762176172
sumber: http://www.facebook.com/note.php?note_id=413021549271

Perubahan Amandemen dan Konstitusi

Kesepakatan Dasar dalam Melakukan Perubahan Konstitusi
Perubahan konstitusi merupakan suatu hal yang menjadi perdebatan panjang, terutama berkaitan dengan hasil-hasil yang diperoleh dari perubahan itu sendiri. Perdebatan itu menyangkut apakah hasil perubahan itu menggantikan konstitusi yang lama ataukah hasil perubahan itu tidak menghilangkan dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari konstitusi yang lama.
Dalam sistem ketatanegaraan modern, paling tidak ada dua sistem yang berkembang dalam perubahan konstitusi yaitu renewal (pembaruan) seperti yang dianut oleh negara-negara Eropa Kontinental dan amandement (perubahan) seperti yang dianut oleh negara-negara Anglo-Saxon. Sistem perubahan konstitusi renewal adalah perubahan konstitusi secara keseluruhan sehingga yang diberlakukan kemudian adalah konstitusi yang benar-benar baru. Negara-negara yang menganut sistem ini antara lain Belanda, Jerman, dan Prancis.
Sistem perubahan konstitusi amandemen adalah perubahan konstitusi dengan tetap memberlakukan konstitusi yang asli. Hasil perubahan tersebut merupakan bagian atau lampiran yang menyenai konstitusi asli. Negara yang menganut sistem ini antara lain Amerika Serikat.
Adapun cara yang dapat digunakan untuk mengubah konstitusi adalah melalui jalan penafsiran.
Menurut KC Wheare, caranya melalui:
a. beberapa kekuatan yang beradat primer (some primary sources)
b. perubahan yang diatur dalam konstitusi (formal amandement)
c. penafsiran secara hukum (judicial interpretation);
d. kebiasaan yang terdapat dalam bidang ketatanegaraan (usage and convention).
Sementara itu, menurut Miriam Budiardjo, ada empat macam prosedur dalam perubahan konstitusi, yaitu sebagai berikut:
a. Sidang badan legislatif dengan ditambah beberapa syarat, misalnya dapat ditetapkan kuorum untuk sidang yang membicarakan usul perubahan undang-undang dasar dan jumlah minimal anggota badan legislatif untuk menerimanya,
b. Referendum atau plebisit.
c. Negara-negara bagian dalam negara federal (misalnya Amerika Serikat,3/4 dari 50 negara bagian harus menyetujui).
d. Musyawarah khusus (special convention).
PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR 1945
Perubahan/Amandemen UUD 1945
Sesuai dengan perkembangan di berbagai bidang kehidupan dalam berbangsa dan bernegara di Indonesia, sejak masa reformasi telah menimbulkan pemikiran yang serius dari bangsa dan negara Indonesia untuk melakukan koreksi atas berbagai penyimpangan yang terjadi dalam praktik penyelenggaraan negara. Dalam rangka pelaksanaan penyelenggaraan hidup bernegara, termasuk jalannya ketatanegaraan, bangsa Indonesia telah mengalami momen sejarah baru, yaitu reformasi. Tepatnya terjadi pada sekitar tahun 1998 setelah tumbangnya pemerintahaan Orde Baru yang sebelumnya telah berlangsung selama lebih kurang 32 tahun.
Bangsa Indonesia telah menginginkan terbentuknya suatu sistem kehidupan berbangsa dan bernegara yang baru, demokratis dengan menempatkan kedaulatan rakyat pada posisi kedaulatan tertinggi.
Dengan terjadinya berbagai penyimpangan dalam praktik kenegaraan, baik pada masa pemerintahan Orde Lama (Soekarno), maupun pada masa pemerintahan Orde Baru (Soeharto), yang mengarah kepada kekuasaan bersifat sentralistik, tertutup dan otoriter, yang salah satu sumber penyebabnya adalah pada konstitusi negara kita, yaitu UUD 1945 yang dinilai tidak cukup kuat untuk menampung segenap prinsip-prinsip konstitusional serta prinsip ke arah kehidupan yang demokratis maka diperlukan suatu koreksi terhadap konstitusi/UUD 1945.
Sebenarnya para penyusun dan perumus Undang-Undang Dasar 1945 pada saat itu telah menyadari bahwa Undang-Undang Dasar 1945 masih belum lengkap dan tidak sempurna mengingat saat perumusan/penyusunannya dalam waktu yang sangat sempit dan serba tergesa-gesa sehingga undang-undang dasar belum memiliki mekanisme atau sistem check and balance (pengawasan dan keseimbangan) antarlembaga negara yang ada.
Presiden Soekarno dalam pidatonya di depan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) tanggal 18 Agustus 1945 pernah menyatakan bahwa Undang-Undang Dasar 1945 masih berifat sementara dan kilat sehingga kelak pada sesudah suasana menjadi lebih tenteram dan stabil dapat dibuat undang-undang dasar baru yang lebih lengkap dan sempurna. Dalam Ayat (2) Aturan Tambahan Undang-Undang Dasar 1945 (lama) dinyatakan bahwa dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat terbentuk, majelis ini bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar. Peluang perubahannya dilandaskan pada Pasal 37 Undang-Undang Dasar 1945 yang mensyaratkan harus dihadiri oleh dua pertiga anggota MPR dalam sidang, dan disetujui oleh dua pertiga dari anggota yang hadir, sedang perubahannya harus mempertimbangkan kepentingan aspirasi dengan pelaksanaannya.
Perubahan juga harus mempertimbangkan kecermatan dan kehati-hatian serta hal-hal lain yang memungkinkan akan mengakibatkan kesulitan dalam pelaksanaannya, termasuk pentingnya melibatkan masyarakat dalam proses sosialisasi. Perubahan UUD 1945, sesuai dengan Pasal 37, sesungguhnya perubahan itu belum secara lengkap dari rakyat. Oleh karena itu, perubahannya nanti diharapkan dapat meningkatkan kualitas demokrasi dan penegakan hak asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar 1945. Seperti diketahui bahwa kesepakatan di MPR yang menyatakan tidak dimungkinkannya melakukan perubahan terhadap Pembukaan UUD 1945 menunjukkan masih diterimanya Pancasila sebagai ideologi negara mengingat letak Pancasila ada dalam paragraf IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Perubahan Sistem Ketatanegaraan Setelah Amandemen UUD 1945
Sejak era reformasi, MPR hasil Pemilu 1999 telah melakukan empat kali amandemen UUD 1945. yaitu amandemen pertama (19 Oktober 1999), amandemen kedua (18 Agustus 2000), amendemen ketiga (9 November 2001), dan amandemen keempat (10 Agustus 2002).
Perubahan pertama sampai keempat UUD 1945 tersebut telah mengubah hampir selurun sistem ketatanegaraan di negara Indonesia (berbeda dengan sistem ketatanegaraan yang dianut oleh UUD 1945), seperti lahirnya lembaga-lembaga baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Konstitusi, dan Komisi Yudisial. Adapun perubahan tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar.
b. MPR tidak lagi dikenal sebagai lembaga tertinggi negara karena setelah amandemen menggunakan sistem bikameral (sistem majelis perundang-undangan kembar), yang terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)dan Dewan Perwekilan Daerah (DPD); sedangkan Utusan Golongan di MPR tidak ada lagi. DPR dan DPD dipilih melelui pemilihan umum.
c. MPR berwenang mengubah dan menetapkan undang-undang dasar, melantik Presiden dan Wakil Presiden, serta dapat memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya.
d. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan dan dihantu oleh seorang wakil presiden dan menteri-menteri negara.
e. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jahatan selama lima tahun, den sesudah itu dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
f. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan DPR.
g. Keberadaan lembaga Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan dari lembaga tinggi negara dan menjadi lembaga di dalam struktur pemerintahan negara yang dibentuk oleh presiden.
h. DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Setiap rancangan undang-undang dibahasoleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.
i. Anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui pemilihan umum.
j. Badan Pemeriksa Keuangan bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
k. Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang.
l. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
m. Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan hasil pemilihan umum.

Hubungan Hukum Internasional dengan HAM

Ciri Khas Hukum Internasional pada Umumnya
Hukum internasional, secara tradisional, dimengerti sebagai hukum yang mengatur hubungan antara negara-negara, dengan menggunakan norma-norma yang mengikat negara bersangkutan, yang disepakati dengan sukarela. Secara tradisional, hukum internasional, dimengerti keberadaannya, didasarkan pada persetujuan dan konsensus yang secara eksplisit dinyatakan negara-negara yang menyetujuinya. M. Virally menyatakan, hukum internasional dapat juga hukum politik internasional, disebabkan:
1. bertujuan atau ditujukan untuk kepentingan yang pada hakikatnya adalah politik. yakni kepentingan negara sebagai kesatuan politik;
2. pembentukannya tergantung dari kemauan politik negara;
3. diwujudkan oleh organ-organ politik, pemerintah negara, tanpa harus diuji oleh instansi yang mandiri.

Ciri hukum internasional penting lainnya, tidak ada lembaga atau institusi yang dapat melakukan pemaksaan dipatuhinya norma internasional yang ada, walaupun dalam perkembangannya, terus diciptakan aneka prosedur untuk penyelesaian sengketa jika tidak dipenuhi atau dipatuhinya kewajiban internasional oleh sebuah negara terhadap negara lainnya, seperti mekanisme perantaraan, angket, konsiliasi, atau arbitrase. Terkadang, jika tidak ada prosedur yang dapat diterima dan dapat menyelesaikan sengketa secara efektif, sebuah negara atau beberapa negara, secara sepihak melakukan dan menggunakan kekerasan bersenjata.

Sejak ditetapkannya, Piagam PBB, penggunaan kekerasan bersenjata secara sepihak oleh negara, dilarang untuk menyelesaikan hampir semua masalah yang terjadi di dunia. Biasanya dilakukan penerapan sanksi—sanksi walaupun perlakuan atau penerapan sanksi juga mendapat keberatan yang besar. Sebagai contoh, sanksi embargo ekonomi, terhadap negara yang dinilai melanggar perjanjian internasional, tnengundang polemik, karena bukan raja berakibat kepada aparat negara, yang telah melakukan pelanggaran, tetapi juga berakibat negatif terhadap penduduk atau rakyat di negara bersangkutan. Sebagai catatan, agresi militer pimpinan Amerika Serikat dan negara-negara pendukungnya, merupakan bentuk tradisional penyelesaian masalah dunia, yang dilarang oleh Piagam PBB.

Khususnya, Perserikatan Bangsa-bangsa, dan organisasi-organisasi internasional umumnya, dalam perkembangannya telah mengubah sifat hukum internasional yang tradisional. Dalam forum yang diselenggarakan organisasi internasional— yang dihadiri perwakilan-perwakilan negara dapat dikemukakan praktik-praktik hukum negara-negara dan dapat dijadikan sarana pengintegrasian opinion iuris. Forum semacam ini dapat mewujudkan hukum kebiasaan internasional, bahkan forum organisasi internasional dapat secara langsung membentuk peraturan (perjanjian) internasional. Dengan menggunakan forum organisasi internasional, para perwakilan negara, dapat memberikan interpretasi hukum perjanjian, hukum kebiasaan dan aturan-aturan hukum yang berlaku umum. Selain itu, di bawah organisasi internasional, berkembang juga bentuk-bentuk baru pengawasan internasional dan prosedur penyelesaian sengketa secara damai—terutama memperoleh kewibawaannya, jika melibatkan para ahli independen. Tindakan paksaan, dalam skala tertentu, dapat dimungkinkan oleh Dewan Keamanan, berdasarkan aturan yang dimuat dalam Bab VII Piagam PBB.Dalam hal, terjadi pelanggaran berat HAM yang dilakukan sebuah negara, maka Dewan Keamanan berkomunikasi dengan Badan-badan HAM PBB dapat mengeluarkan resolusi untuk membentuk Pengadilan Internasional, seperti Pengadilan Internasional untuk Bekas Negara Yugoslavia, dan Pengadilan Internasional untuk Rwanda.

Ciri Khas Hukum Internasional untuk Perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM)
Hukum internasional yang umum, hanya mengatur negara sebagai subjek hukum internasional. Hukum internasional hak asasi manusia berbeda, meskipun status individu sebagai subjek internasional belum diatur secara sempurna, namun hukum internasional hak asasi manusia sudah mengakui individu, sebagai subjek hukum internasional.

Sebagai subjek hukum internasional, individu, pada umumnya belum berperan secara mandiri, karena jika terjadi kejahatan atau pelanggaran hak asasi manusia, tnaka setidak-tidaknya negara, ditempatkan dalam entitas yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan dan pelanggaran hak asasi, atau setidak-tidaknya, negara dap& dinilai telah lalai dalam kewajiban internasionalnya mencegah kejahatan yang terjadi, atau sebaliknya negara tempat terjadinya kejahatan dapat menuntut pihak-pihak yang melakukan kejahatan.

Perkembangan hukum internasional, terutama setelah Perang Dunia ke-1, telah memberikan status kepada individu sebagai subjek hukum internasional yang mandiri dalam tata hukum internasional. Pembentukan pengadilan internasional Nuremberg dan Tokyo, telah mendudukan individu, sebagai subjek hukum yang dituntut atas kejahatan perang yang dilakukannya. Selanjutnya, individu dalam hukum internasional hak asasi manusia, dalam perkembangannya juga dapat membela hak-haknya secara langsung, awalnya berlaku menurut hukum masyarakat Erope dalam Konvensi Eropa, serta berlaku dalam Konvensi Amerika.Individu dapat membela dirinya sendiri, juga dikenal dalam hukum pegawai negeri internasional.

Pengakuan individu dalam hukum internasional hak asasi manusia, juga dicantumkan dalam Pasal 14 Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, dan Protokol Opsional Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, yang memberikan hak petisi atau prosedur pengaduan bagi individu. Demikian juga hak buruh untuk menyampaikan pengaduan yang diatur dalam konvensi ILO.

Perkembangan-perkembangan tersebut adalah perkembangan yang memberikan harapan, walaupun hukum internasional tidak terlepas dengan kepentingan “politik” negara. Demikian juga pemberlakuan prosedur internasional tidak terlepas, dari sifat politik. Dapat dikatakan, harapan yang besar muncul, disebabkan hukum internasional hak asasi manusia secara konsisten mengatur kewajiban internasional bagi semua negara untuk mempromosikan, menghormati, melindungi, memenuhi—memfasilitasi dan menyediakan hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan hak budaya setiap orang dan kelompok.

Sistem hukum internasional hak asasi manusia, juga telah mengakibatkan munculnya kewajiban korporasi internasional bertindak sesuai dengan norma dan standar hak asasi manusia. Dalam konteks ini, penting untuk mencatat perkembangan terbaru, saat dikeluarkannya sebuah resolusi, yang diadopsi pada 13 Agustus 2003, yang menyatakan korporasi trans/multinasional (TNCs/MNCs) perlu terikat dengan hukum internasional hak asasi manusia. Namun, mekanisme ini masihlah jauh dari sempurna, karena Sub-Komisi belum dapat melakukan fungsi pengawasan terhadap masalah Sebagai penutup, hukum internasional hak asasi manusia, juga memberikan perhatian besar kepada organisasi non-pemerintah (non-governmental Organisation) untuk berperan aktif dan terlibat dalam promosi dan perlindungan hak asasi manusia di dunia. Perserikatan Bangsa-bangsa, dapat memberikan status konsultatif (consultative status) kepada organisasi non-pemerintah, untuk terlibat dalam forum-forum internasional yang membahas isu dan problem hak asasi manusia.